Bali Berdenyut, Berkat Jutaan Canang Ditabur Saban Hari

Selasa, 17 Juli 2018

Canang adalah kewajiban. Orang Bali menandai denyut kehidupannya dengan canang. Mereka seperti cemas bila tak menghaturkan canang. Maka canang tidak bisa dipisahkan di pulau yang berjuluk Surga Terakhir ini.

Juga tak bisa dipastikan berapa canang dibutuhkan saban hari di Bali. Bisa jadi puluhan, bahkan ratusan ribu. Ini belum lagi bila ada rerahinan, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, dan Tilem. Apalagi menjelang hari raya, seperti Galungan, Kuningan, dan Saraswati.

“Jumlah yang terjual bisa dua sampai tiga kali lipat,” tutur Putu Suriantini (20), penjual canang di Pasar Badung.

Pada hari-hari biasa, Putu butuh waktu hanya dua sampai tiga jam untuk menghabiskan 1.200 canang yang dijualnya. Gampang? Begitulah.

Ungkapan laris seperti kacang goreng yang lazim dipergunakan, boleh jadi sudah bisa diganti dengan laris seperti canang buat menunjukkan betapa cepatnya suatu produk terjual. Ini pula yang memicu kian maraknya dagang canang bermunculan.

Di Denpasar, sekitar dasawarsa 1980-an dagang canang nongol di terminal Suci, di sepanjang Jalan Hasanudin dan sekitar Banjar Pamedilan. Itu pun hanya pada rerahinan tertentu, seperi Purnama dan Tilem, bersamaan dengan ramainya warga kota Denpasar mabakti ke Pura Jagatnatha —yang cuma beberapa meter dari Jalan Hasanudin.

Tiang (saya) yang pertama menjual canang di Suci ini,” ungkap Nyoman Murni (48) yang hingga kini setiap hari masih menggelar dagangannya di Jalan ini.  

Ada kebanggaan terbersit di wajah Nyoman yang polos. Namun cuma sejenak, ia buru-buru melenguh. “Kini dagang canang mabrarakan (bertaburan), bilang bucu (di setiap tempat).”

“Dulu di Pasar Ketapian ini cuma tiang yang jual canang. Sekarang sudah berderet. Mau bagaimana, semua orang merasa seduk (lapar). Mereka ingin juga mencoba mencari makan dengan ngadep (menjual) canang,” tutur Made Roni (52) yang mengaku sudah enam tahun tinggal di Ketapian.

Sejak sepuluh tahun terakhir, Denpasar memang bertaburan pedagang canang. Saban hari, denyut pedagang canang sepertinya berpacu kencang dengan denyut kehidupan manusia Bali di Denpasar.

Dari pukul 05.00 pagi hingga 23.00 malam di Pasar Kreneng, misalnya, tak kurang dari 30-an dagang canang berderet. Bila menjelang Purnama atau Tilem, mulai pukul 21.00 di Pasar Badung 50-an dagang canang terlihat menggelar canang.

Mereka berasal dari Abian Semal, Sangeh, Sibang, Mengwi –kini masuk wilayah Badung— termasuk beberapa di antaranya yang tinggal di sekitar Kodya Denpasar. Itu hanya yang berjualan di pinggir jalan atau pintu pasar. Artinya, belum termasuk yang nyelip-nyelip di tengah pasar.

Begitu pula di sekitar Pura Jagatnatha lebih dari 30-an dagang canang dadakan menggelar dagangannya bila hari Purnama ataupun Tilem. Belum lagi di Pasar Sanglah, di depan Pura Suci di Jalan Hasanudin, Pasar Pemedilan, dan lain-lainnya.

‘Booming’ dagang canang ini bahkan juga menular sampai ke kota-kota lainnya di luar Denpasar dan Badung. Canang, kini, memang sudah menjadi ‘mata dagangan’, layaknya ukiran Bali.

Bedanya: ukiran Bali dibeli orang luar, canang dibeli orang Bali sendiri. “Makin banyak wanita Bali yang mengejar karir di sektor jasa modern menjadikan dagang canang makin marak,” tengara penulis buku tentang sesajen Bali, Ida Ayu Putu Surayin.

Beda dengan wanita-wanita Bali yang bekerja di sektor informal sebagai buruh bangunan, tukang labur, atau yang bekerja sebagai pedagang acung, tukang pijat di pantai, mereka yang bekerja di kantoran atau di bidang jasa modern rupanya lebih suka memilih jalan praktis. Canang dibeli, bukan dibuat. rai/jss