Ini Kisah Danghyang Niratha di Pura Peti Tenget

Senin, 09 Juli 2018

Kalau Anda sedang ke Pulau Bali, mampirlh ke Pura Peti Tenget. Pura ini indah dan eksotis, selain menyimpan banyak misteri. Ini kisah tentang Pura Peti Tenget itu.

Adalah Danghyang Niratha. Dia berjalan sampai bertemu dengan seekor naga besar. Mulut naga itu terbuka lebar. Dan itu yang membuat iwtri dan putra-putrinya lari.

Namun sang pendeta tenang menghadapi naga besar itu. Bahkan sang pendeta langsung masuk ke mulut naga.

Di dalam perut naga itu, Danghyang Niratha menjumpai sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai) tiga warna. Tunjung di pinggir timur berwarna putih, di pinggir selatan berwarna merah, dan di utara berwarna hitam.

Danghyang Niratha memetik satu demi satu daun tunjung itu. Yang merah diselipkan di atas telinga kanan, tunjung hitam di atas telinga kiri, dan tunjung putih dipegang.

Keluar dari perut naga besar Danghyang Niratha mengucapkan mantra Hayu Werddhi. Begitu tunjung-tunjung itu dipetik, akhirnya naga besar itu musnah tanpa bekas.

Sementara tubuh Danghyang Niratha dilihat oleh putra-putrinya dan istri berwarna merah dan hitam, sebentar berubah warna menjadi mas. Melihat keadaan itu, putra-putri dan istrinya ketakutan. Mereka lari tunggang-langgang tanpa arah yang pasti. Mereka berhamburan dan terpencar satu sama lainnya.

Danghyang Niratha tercengang melihat putra-putri dan istrinya. Niratha dengan tergopoh-gopoh mencari satu-persatu anak dan istrinya yang tidak ada di tempat itu. Niratha mencari ke mana-mana dengan menerobos hutan belantara.

Akhirnya Niratha menemukan isrinya bersimpuh lemas karena letih berlari. Nafasnya ngos-ngosan sambil bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan. Wajahnya pucat pasi, lesu-letih sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi. Danghyang Niratha langsung menanyakan keadaan putra-putrinya.

“Wahai Ketut, kemana larinya anak-anak kita?” Sang istri langsung menjawab, “Ampun sang pendeta. Dinda tidak mengetahui ke mana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan dan terpencar sendiri-sendiri”.

Dalam percakapan itu, Niratha menangkap firasat kurang bagus yang mengarah kepada keselamatan salah seorang putranya. Niratha bersama istri mencarinya sambil memanggil-manggil namanya.

Siang malam berjalan mencari putra-putrinya, akhirnya satu persatu ditemui. Tinggal satu yang belum ketemu, yakni putri tertuanya Ida Ayu Swabhawa.

Setelah lama mencari, akhirnya dia ditemukan sudah berbadan halus dengan rupa pucat lesu. Sang ayah langsung menanyakan, kenapa pergi jauh sampai ke tempat ini.

Sang putri menceritakan kisah perjalanannya. Dia lari karena diserang perasaan takut saat melihat tubuh ayahnya yang berubah berwarna merah dan hitam.

Dia juga menceritakan bosan hidup sebagai manusia dan minta kepada ayahnya untuk menunjukkan sekaligus membantu agar bisa menjadi Dewa. Dia minta diajari ilmu supaya bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di sorga, dan tidak lagi menjadi manusia.

Akhirnya Niratha bersedia mengajari ilmu rahasia agar terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa. Niratha mengajari anaknya itu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa.

Setelah diajari ilmu itu, sang anak pun langsung bisa menggaib, suci dari dosa, dan menjadi dewa yang disebut dengan Bhatari (dewi) Melanting. Dewi ini akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di sana.

Tatkala Niratha sedang mengajarkan ilmu kepada putrinya, ada seekor cacing kalung mendengarnya. Maka saat itu pula cacing itu kasupat (musnah), dan menjelma menjadi manusia perempuan. Wanita ini meminta agar diperkenankan menghamba. Dia menyembah kakinya setelah disupat menjadi manusia kembali. Sang pendeta memberi nama wanita itu Ni Brit. rai/jss