Misteri Anak Gendruwo (1) : Ini Pengantin Baru di Hutan Angker

Kamis, 21 Juni 2018

Malam minggu kemarin kami kedatangan tamu istimewa. Wajah tamu itu tak seperti manusia lazimnya. Sebab wajah tamu kali ini sangat lonjong. Kulitnya hitam pekat. Tubuhnya berbulu. Tangannya seperti tak bertulang. Dan yang lebih aneh lagi, di dalam mulutnya terdapat dua lidah.

Tamu itu bernama Wagini. Jenis kelaminnya laki-laki. Umurnya 25 tahun. Belum berkeluarga. Dan punya kekuatan supranatural tinggi. Bagaimana bisa begitu? Maklum, karena tamu itu memang perpaduan antara manusia dan jin yang disebut Genderuwo.

Anak Genderuwo itu berkenalan dengan para redaktur kami. Ia ingin berbagi pengalaman, dan bercerita tentang kehidupannya yang mistis dan misterius. Dalam suasana keakraban, selama hampir tiga jam Wagini bercerita panjang lebar kisah hidupnya. Riwayat kelahirannya, tragedi yang menimpa ibunya, neneknya, dan juga ayahnya yang ada di dunia gaib.

Makhluk jenis apakah Wagini ini? Benarkah ia merupakan persilangan antara ibu manusia dengan ayah makhluk halus? Bagaimana proses penyatuan dua makhluk yang berbeda alam itu? Inilah kisahnya yang akan dituangkan Sawiplus.co secara bersambung mulai hari ini.

Ini kekuasaan Allah. Kalau Allah berkehendak, maka apapun yang muskil bakal tak mustahil. Kun fayakun. Jadi, maka jadilah. Begitu pula yang terjadi pada Wagini ini.

Ia ditakdirkan menjadi anak dari persilangan ibu manusia dan ayah genderuwo atau gendruwo. Kini anak gendruwo itu, untuk usia manusia, sudah remaja besar. Umurnya 25 tahun (saat wawancara). Tapi begitu, tabiatnya masih seperti anak-anak.

Sebab dalam ukuran makhluk halus, umur 25 tahun masihlah anak-anak. Taklah heran jika Wagini masih kolokan dan manja layaknya anak kecil. Namun bagaimana semua itu bisa terjadi? Untuk menguaknya, kita harus kembali pada dua puluh lima tahun ke belakang.

Adalah sebuah keluarga sederhana yang tinggal di sebuah desa terpencil di Alas Purwo. Nama keluarga itu adalah Wakijem, yang baru saja disunting pemuda setempat bernama Gimo. Sejak perkawinan itu Gimo tinggal di rumah istrinya, bersama mertua perempuannya, Wakijah. Gimo bercocok tanam layaknya laki-laki desa yang lain.

Pagi-pagi sekali Gimo berangkat ke ladang untuk menanam tanaman polowijo. Dan sore hari, ketika matahari sudah turun dari cakrawala, ia baru kembali pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga.

Sedang istrinya, Wakijem, membantu ekonomi rumahtangganya dengan membuat makanan ringan, rempeyek. (Djoko Suud Sukahar/bersambung)