James Fry : Larangan Sawit Masuk Uni Eropa Masih Bisa Dinego

Jumat, 27 April 2018

BALI-Hari terakhir acara ICOPE 2018 diramaikan dengan pengakuan James Fry tentang ganjalan Uni Eropa terhadap kemungkinan dilarangnya minyak sawit masuk Uni Eropa di tahun 2021. Konsultan terkemuka dan anggota dari Komisi Eropa itu, Jumat (27/4/2018) bicfara tentang itu, juga tentang prospek CPO di pasar dunia, keberlanjutan, dan tentang sikap Uni Eropa (UE) terhadap (Crude Palm Oil/CPO). Menurutnya, apa yang dilakukan, termasuk pemaparannya ini tidak terkait langsung dengan kebijakan yang mengguncang negara-negara produsen minyak sawit itu. Ini juga tidak berhubungan langsung dengan ‘Resolusi Parlemen Eropa’, dan dia tidak dalam kapasitas untuk memberi rekomendasi soal itu. Diakui, sebagai anggota Komisi Eropa, dia diminta untuk membuat laporan tentang sawit, deforestasi dengan background sawit. Sebab komisi ini, kata James Fry, memang bekerja di bidang deforestasi. “Namun jangan dilihat apa yang saya paparkan itu sebagai pandangan (Uni) Eropa. Saya hanya menunjukkan fakta-fakta, dan saya tidak boleh memberi rekomendasi,” tegasnya. Menurut James Fry yang biasa memprediksi harga komoditas sawit itu, dalam kebijakan Uni Eropa, terdapat tiga pembagian kewenangan, yaitu parlemen, dewan menteri negara-negara anggota, dan komisi yang merupakan salah satu badan di struktur ini. “Dan Komisi Eropa akan menunjukkan pada dewan menteri sebagai pengambil keputusan terakhir dalam bentuk kualifikasi atau voting. Ini adalah cara pengambilan keputusan,” katanya. Menurutnya, keberangan Indonesia, Malaysia dan Thailand terhadap ‘Resolusi Parlemen Eropa dan yang lain yang akan menghentikan minyak sawit masuk UE  itu tetap didengar. Namun keputusan terakhir ada di dewan menteri. “Dan ini bukan hanya berlaku bagi sawit, tetapi juga kedelai dan yang lain. Skema sertifikasi juga diteliti, misal untuk biofuel. Sudah ada enam kasus ditemukan di Afrika serta Asia Tenggara,” ungkapnya. Menurut James Fry, peluang untuk menegosiasikan kebijakan itu masih ada. Menerangkan bagaimana sawit, dari sertifikasi, air, karbon, benar-benar memenuhi asas keberlanjutan. “Sebab harus diingat, Uni Eropa masih menjadi pasar utama sawit. Kendati 45% lahan sawit dulu adalah hutan, tetapi kita juga tahu, bahwa peternakan yang paling merusak. Ini yang harus diterangkan Indonesia dan Malaysia pada negara-negara Uni Eropa,” katanya. jss