Bandung Sahari : Serangga Siracus Kendalikan Ulat di Kebun Sawit

Kamis, 26 April 2018

BALI–Industri kelapa sawit di Indonesia mulai memanfaatkan control biologis dan ekosistem serangga untuk menggantikan pestisida dalam mencegah perusakan tanaman sawit oleh hama. Upaya itu terbukti menghemat biaya pengadaan pestisida serta dapat mempertahankan keanekaragaman hayati di ekosistem perkebunan. Bandung Sahari, Head of Research PT Astra Agro Lestari Tbk, memaparkan, kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian bangsa Indonesia. Tapi, saat yang bersamaan, muncul tuntutan dan tantangan baru terkait isu keberlanjutan. “Sustainability itu harus diikuti dengan produktivitas yang meningkat dan ekosistem yang sehat. Bagaimana menjembataninya, antara lain dengan upaya control biologi, agro biodiversity, yang kata kuncinya adalah mempertahankan keanekaragaman hayati,” ujar Bandung Sahari dalam konferensi International Conference Oil Palm and Environment (ICOPE) 2018 di Bali, Kamis (26/4). Menurutnya,  upaya mempertahankan keanekaragaman hayati sudah selayaknya terintegrasi dengan pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan. “Dalam lima tahun terakhir kami melakukan penelitian dan terus berlangsung. Fokusnya, biodiverisity, parasitisme, serangga, dan burung pemakan serangga,”ucapnya. Dia menyebutkan, riset itu dilakukan dengan pengambilan sampling ekologi di Kalimantan Tengah. “Dalam riset ini, salah satu fokusnya adalah serangga Sycanus untuk mengendalikan spesies ulat. Pada tahun 2012, kami tidak memperkenalkan Sycanus, dampaknya serangan hama ulat tergolong tinggi. Tapi setelah diperkenalkan Sycanus, serangan hama ulat menurun. Ini dari data di lapangan,” katanya. Bandung menambahkan, 6.000 species Sycanus bias menggantikan pestisida. Setelah melakukan control biologis dengan pengembangbiakan Sycanus, terjadi penghematan lebih dari Rp 380 juta dari menurunnya biaya pestisida. Tidak hanya menghemat modal, tapi lebih aman bagi lingkungan dan menggantikan pestisida,” tambahnya. Glen Reynolds, peneliti di The South East Asia Rainforest Research Partnership (SEARRP), menjelaskan, dalam upaya restorasi hutan terdegradasi menjadi perkebunan, keanekaragaman hayati harus menjadi focus utama. “Keanekaragaman hayati bias pulih dalam lanskap perubahan lahan dari hutan terdegradasi ke perkebunan,” ucapnya. Menurutnya, SEARRP melakukan penelitian di Sabah, khususnya di 7.000 hektare hutan yang sudah ditandai untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. “Kami mengamati dengan citrasatelit, memonitor parameter hidrologis, dan beberapa parameter lainnya. Kami sudah mengumpulkan database. Temuan kami, hutan yang terdegradasi dilihat dari keanekaragaman hayatinya sama dengan perkebunan. Jumlah ekosistem sama,” ujarnya. Julie Hinsch, peneliti dari University Copenhagen dan University Cambridge, menambahkan, penggunaan pestisida berdampak negative terhadap predator natural. “Sistem integrated pest management (IPM) bias digunakan untuk itu. Dengan IPM, kita gunakan predator alami untuk mengelola ekosistem,” paparnya. Amelia Hood, peneliti dari University Cambridge, menekankan pentingnya fungsi semut dalam menjaga konservasi keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. “Temuan dalam penelitian kami yang dilakukan di Riau antara lain, bahwa semut meningkatkan porositas tanah sehingga serapan air makin bagus. Semut juga penting untuk menahan herbivore merusak tanaman kelapa sawit,”paparnya.