Menko Luhut : Kami Ingin Membangun Kemitraan, Tidak Mengemis dan Tidak Ingin Didikte

Selasa, 24 April 2018

BRUSSELS, Belgia - Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan yang juga menjadi ketua tim negosiasi RI mengatakan dalam perundingan pembatasan penggunaan produk turunan kelapa sawit di Uni Eropa (EU) ia ingin membangun kemitraan, dalam posisi yang sama dengan EU. “Kami tidak ingin melihat ini sebagai tindakan diskriminasi. Dalam prosesnya kami ingin membangun dialog antara mitra. Kami harap keputusan yang diambil, nantinya bisa memuaskan semua pihak. Kami tidak datang untuk mengemis, untuk didikte, tetapi untuk berdialog dengan mitra. Kami dalam posisi yang setara, kami ingin membangun 'partnership'. Kami bukan negara miskin. Kami negara kaya dengan banyak pengalaman. Anda tanya tentang radikalisme, kami pernah mengalaminya. Anda tanya tentang kemiskinan, kami sudah mengalaminya dan sekarang masih melakukan usaha untuh menguranginya, Anda tanya tentang lingkungan hidup kami pun pernah mengalami dan mengalokasikan banyak dana untuk mengatasi ini," ujar Menko Luhut kepada media di Press Club Brussel, Belgia pada hari Senin (23-04-2018). Sebelumnya Menko Luhut melakukan pertemuan dengan Komisioner Perdagangan EU H.E. Cecilia Malmström di kantornya. Ketika ditanya media, apa saja yang dibicarakan Menko Luhut dengan Komisioner Malmstrom, ia mengatakan banyak hal yang dibicarakan tentang isu lingkungan hidup, perdagangan, dan juga kelapa sawit. “Palm oil_ bukan isu, tapi lebih ke persoalan kemiskinan. Menurut riset Universitas Stamford, kelapa sawit mampu mengurangi kemiskinan hingga 10 juta orang. 51% lahan kelapa sawit dikuasai oleh petani. Sebanyak lebih dari 16 juta orang bergantung pada kehidupannya pada sawit," jawab Menko Luhut. Menurut Menko Luhut ia merasa ada yang janggal karena hanya sawit yang disebutkan, mengapa tidak diterapkan kepada yang lain seperti _rapeseed_ dan bunga matahari. “Hampir semua sawit yang dikirim dari Indonesia telah mendapat sertifikasi Internasional. Dari segi kesehatan kami sudah melakukan penelitian dan juga meminta konsultan independen ttg dampak sawit pada kesehatan, tidak ada yang salah dengan sawit," katanya. Menko Luhut mengatakan kepada Komisioner Malmstrom ia menyampaikan komitmen Indonesia untuk mempercepat proses _Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA)_ yang perundingannya masih berlangsung karena produk Indonesia yang diekspor ke EU bukan hanya sawit. Ia mengatakan, sama seperti harapannya, Komisioner Malmstrom berharap keputusan yang diambil nantinya bisa memuaskan semua pihalk. “Kepada Komisioner Malmstrom, saya sampaikam kelapa sawit membantu meningkatkan kehidupan para petani di negara-negara berkembang lainnya, bukan hanya di Indonesia," katanya kepada wartawan. Kepada media, Menko Luhut mengatakan kelapa sawit sudah ada sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, bukan sesuatu yang baru untuk Indonesia. “Moratorium sudah diterapkan kami tidak akan menambah lahan sawit lagi. Menurut kami angka 14 juta hektar sudah cukup untuk sawit. Saat ini yang kami lakukan adalah mendidik para petani untuk melakukan peremajaan tanaman dan memberikan mereka penyuluhan tentang bibit unggul, dan pertanian berwawasan limgkungan," katanya. Tindakan balasan Media juga menanyakan apakah pemerintah Indonesia berencana melakukan tindakan balasan terhadap EU, ia mengatakan tidak ada rencana pemerintah untuk melakukan hal itu. “Saya datang demi kepastian nasib petani sawit, keluarganya dan orang-orang yang bergantung pada bisnis ini, yang jumlahnya melebihi 16 juta orang. Tidak ada rencana kami untuk melakukan tindakan balasan. Memang kami membutuhkan 2500 pesawat untuk 20 tahun ke depan. Bagi kami Airbus penting, kami belum berencana mengalihkannya ke Boeing, tetapi kami yakin ada pengertian dari EU untuk menyelesaikan masalah ini. Kami sedang mempertimbangkan juga untuk memiliki Airbus M400 untuk versi _military_. Mereka datang kepada saya menawarkan ini," jelas Menko Luhut. Ketika didesak apakah Indonesia benar-benar tidak akan melakukan tindakan balasan, Menko Luhut menjawab 'Jika Anda terus dipojokkan, apa yang akan Anda lakukan?," ia bertanya kepada wartawan. Menko Luhut pada kesempatan itu juga ditanya apakah menurutnya tindakan EU ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap negara Indonesia. “Tentang diskriminasi, ya saya pikir mungkin ada di antara anggota Parlemen yang berpikir bahwa situasi Indonesia masih jauh tertinggal, masih memiliki isu HAM, Indonesia sudah sangat terbuka, anda bisa mengunjungi kemana pun Anda mau di wilayah Indonesia. Kami memang pernah memiliki masalah dengan HAM, tetapi sekarang sudah berubah. Situasi HAM kami tidak jauh dengan yang Anda miliki di EU. Malah untuk kebebasan berbicara, di negara kami lebih bebas," terangnya. Malam harinya Menko Luhut mengadakan _working dinner_ dengan para pemangku kepentingan di EU. Ia mendapat beberapa pertanyaan tentang beberapa hal antara lain tentang hubungan antarnegara ASEAN, Menko Luhut menjelaskan hubungan negara-negara ASEAN selama ini berjalan baik, dan saling melengkapi. Tentang isu Laut Cina Selatan, Menko Luhut menegaskan posisi Indonesia sangat jelas, dengan batas yang sudah ditetapkan dan Indonesia tidak mengakui _nine dotted line_. Ada juga pertanyaan tentang radikalisme, Menko Luhut menjawab Indonesia masih mewaspadai dan memperkecil timbulnya serangan kaum radikal. “Indonesia berkomitmen membangun ekonomi yang berwawasan lingkungan dan kami harap dapat melakukan lebih banyak dialog dengan EU untuk mencari solusi dari isu-isu yang muncul selama ini," harapnya.