Mardhiansyah S.Hut, MSc : Negara Tidak Hadir, Konflik Tesso Nilo Terjadi

Rabu, 04 April 2018

PEKANBARU-Tesso Nilo kembali bergolak. Rakyat marah terhadap oknum yang memalak mereka. Akibat kejadian itu, maka rumah, motor dan mobil dibakar, Senin (2/4/2018). Sebenarnya apa yang terjadi di Tesso Nilo yang terus membara itu. Mengapa hingga detik ini, sejak kawasan itu dinyatakan sebagai Taman Nasional tidak kunjung terjadi ketenangan? Untuk mengurai masalah itu, Sawitplus.com mengajak seorang pakar, Mardhiansyah S.Hut.MSc untuk bicara soal itu. Mengurai mulai dari awal masalah hingga kondisinya sekarang yang terus bermasalah. Inilah wawancaranya : Kalau kita melihat Tesso Nilo ini, kalau kita lihat dulu sejarahnya, TNTN itu kan bukan dari awal sudah berstatus kawasan taman nasional, itu dulu SKPH. Kemudian ada yang mungkin sebagian tidak tergarap, jadi lahan tidur, digarap oleh masyarakat, kemudian terbit sertifikat. Setelah itu muncul status kawasan itu sebagai taman nasional. Maka tadi BPN kasih klu tadi, sertifikat, taman nasional, sertifikat. Yang terhukum kan sertifikat belakang. Kalau kita mau mengajukan, dimana letak salah sertifikat itu? Karena sebelumnya sudah ada sertifikat. Kan itu posisinya. Ini mengakibatkan dilema. Kalau kita pada intinya, kalau menurut saya, konflik ini terjadi karena ketidakhadiran negara dalam mengurusi kawasan. Apakah ada di Kepala Desa, kita memegang peta status kawasan. Kan tidak ada. Ketika masyarakat bertanya, kan gak tau. Diolah aja dulu, kemudian tiba-tiba setelah diolah, setelah ditanam, mau mensertifikatkan, baru tau itu status dalam kawasan. Atau kalau negara membebankan ijin pada kawasan itu. Apakah ijin IUPHKAT, ataukah ijin taman nasional, ataukah lain sebagainya, baru tau lahan itu statusnya hutan negara. Selama itu tidak diberikan, masyarakt kita gak pernah tau. Itulah masalah yang mendasar. Mestinya kan negara hadir, menjelaskan status setiap jengkal tanah yang ada di negeri ini. UU 41 tentang kehutanan tahun 1999 itu menyatakan, bahwa harus clear and clean. Ada penetapan, pengukuhan. Sekarang coba tanya, Riau sendiri sudah berapa hutan kita yang melalui proses penetapan dan pengukuhan? Bahkan kawasan yang sudah diberikan ijin kepada perusahaan sendiri pun, belum tentu sudah penetapan dan pengukuhan itu. Juga kawasan hutan yang dikuasai oleh negara sekali pun, oleh taman nasional belum tentu itu sudah melalui proses penetapan dan pengukuhan. Jadi pemicu persoalan ini adalah, ketidak-hadiran negara dari awal dalam mengurusi kawasan ini. Sehingga muncul pertanyaan sederhana, ini Tesso Nilo sekian tahun, kok ada sawit yang umurnya lebih tua dari ijin Tesso Nilo. Saya terus terang memang tidak banyak turun ke Tesso Nilo, tapi mempelajari dari informasi dan literasi yang ada. Logikanya, selama Tesso Nilo berada di situ, sudah melakukan pengawasankah kepada kawasan yang menjadi hak miliknya. Menjadi hak pengelolaannya. Mestinya kalau itu sudah menjadi hak pengelolaannya, pengelola Tesso Nilo tentu mengawasi, mengontrol. Dari kecil sawit itu udah tau, maka cepat lakukan proses. Kehutanan kan ada mekanisme enklaf, ada mekanisme ganti rugi. Kenapa ketika kawasan ini sudah berlarut-larut, ketika mereka sudah punya kebun sawit yang lebih tua dari Tesso Nilonya. Penegakan hukum ini harus kita pilah, tidak bisa disamaratakan. Negara juga harus menghormati ketika kebun sawit masyarakat lebih dulu ada daripada Tesso Nilo. Tetapi bukan berarti negara harus tunduk dan taat kepada para perambah. Disebut perambah, artinya dia membangun kebun sawitnya setelah status Tesso Nilo. Kalau setelah Tesso Nilo ada baru dia tanam sawitnya, itu jelas dia merambah. Pendekatan Tesso Nilo ini bukan sederhana, harus kita telusuri dulu. Memang pendekatan terbaiknya adalah harus multipihak. Banyak pihak yang berkali-kali memperjuangkan itu. Cuma namanya sebuah kebijakan belum tentu bisa diterima semua pihak. Hari ini ditawarkan sebuah solusi, adalah pemulihan kawasan Tesso Nilo dengan pendekatan masyarakat. Bagaimana kawasan itu dipulihkan kembali, tapi dengan menghormati hak-hak masyarakat dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat? Contoh dengan skema, misal perhutanan social. Artinya memberi ruang juga kepada masyarakat, tetapi dalam konteks tidak mengubah status kawasan. Dia harus tetap kawasan hutan. Bukan berarti boleh mengubahnya jadi kebun sawit. Pendekatannya harus kita lihat baik-baik. Sawit yang sebelum ijin dan sawit yang setelah ijin. Saya katakan tadi, polemik yang ada saat ini karena pemerintahnya yang tidak hadir. Bukan berarti pemerintah pusat ya. Pusat terlalu jauh untuk sampai ke sini, tapi dimana pemerintah daerah, pemerintah kabupaten, bahkan camat, kepala desa. Kita tidak menyalahkan juga sepenuhnya kepala desa. Seperti saya kasih contoh tadi, kepala desa tak tahu apakah ini hutankah. Kita tidak melihat orangnya, kita lihat institusinya. Kepala desa orangnya boleh berganti, tapi wajar kan kalau kepala desa atau BPN bahkan terkena sanksi menerbitkan sertifikat di atas yang sudah ada ijinnya.  Satu perlu kita lakukan pendekatan kemanusiaan, itu betul. Dengan pendekatan ke masyarakat. Tapi ini akan menimbulkan konflik horizontal. Ini akan menjadi boomerang bagi masyarakat tempatan. Haruskah orang yang taat hukum dirugikan oleh yang tidak taat hukum. Kalau kita melakukan pendekatan kemanusiaan, kita menghormati hak-hak kawan-kawan yang datang merambah, artinya mereka melakukan pelanggaran hukum, apakah betul negara memberikan privilege, memberikan kemudahan pada orang yang merambah hukum. Terus orang yang patuh hukum yang tidak merambah ini mau apa. Gak bisa dengan pendekatan yang parsial seperti itu. Itu baru kita bercerita normatifnya, kita belum cerita undercover nya. Mampukah para penegak hukum menghadapi para backing dan cukong. Kita gak bisa tutup mata. Itu jelas bagi orang Riau yang ada di teso nilo. Di situ ada apara, ada pemilik modal, yang berkepentingan terhadap kawasan teso nilo. Ketika kita salah, solah-olah kita berhadapan dengan masyarakat. Sesungguhnya kita tidak berhadapan dengan masyarakat. Kalau menurut saya, siapa yang memulai dia yang harus mengakhiri. Di tengah tarik menarik ini maka yang dibutuhkan disini adalah kearifan dan ketegasan pemerintah. Pemerintah harus tegak untuk masyarakat. Jangan pemerintah ditarik-tarik oleh kepentingan asing, oleh kepentingan popularitas, oleh kepentingan pemilik modal. Kembali dia kepada amanah UU, bahwa Negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kewajiban Negara adalah memajukan kesejahteraan. Yang dibutuhkan oleh orang Tesso Nilo adalah kesejahteraan. Jadi kalau mau, jangan parsial hanya menyelamatkan perambah. Pikirkan bagaimana mensejahterakan masyarakat Tess Nilo yang sudah taat aturan. Jadi bukan masalah mengeluarkan dari kawasan, tapi bagaimana menjaga keseimbangan social. Kalau menurut saya, ya itu tadi, pemerintah harus hadir mengurusi mensejahterakan masyarakat kawasan Tesso Nilo. Masyarakat yang merambah harus mengikuti aturan hukum yang berlaku, kemudian persoalan di belakang karena kelalaian Negara maka diampunkan. Tapi pengampunan itu jangan menimbulkan kecemburuan. Tapi ini jangan hanya LHK yang memikirkan. Itu memperkuat yang saya katakan tadi, ketidakadilan tadi. Sekarang kita lihat regulasi kehutanan, SHPH itu pengawasannya di bawah kementerian kan. Mampu gak kementerian mengawasi kawasannya sendiri. Sekarang kalau kita lihat kawasan Tesso Nilo di bawah kekuasaan Negara, SHPH di bawah pengawasan Negara, kok bisa dirampok. Kembali ke diri sendiri. Negara tidak hadir. Coba saya tanya, andaikata kawasan itu ada di pemegang HPH, negara pasti cabut ijin orang itu, karena anda dianggap tidak mampu mengamankan kawasan itu. Sekarang kalau kita mau komparasikan, mana yang lebih banyak kawasan terbebani ijin yang dikelola dirambah dengan kawasan yang tidak terbebani ijin dirambah. Kalau sudah jelas ada yang mengelola, masyarakat akan berpikir panjang. Sekarang pertanyaannya, siapakah yang bertanggung jawab mengelola kawasan yang dengan terbebani ijin atau habis ijin. Itu inti persoalannya. Saya tak mau juga masyarakat kita dikorbankan. Saya tak mau juga mempersalahkan para pendatang. Jangan kita lempar tanggung jawab, ketika negara yang lalai, negara yang tidak adil.