Seks Caligula (10) : Drussila Merenungi Cinta Terlarang

Senin, 05 Maret 2018

Melihat Caligula biasa-biasa saja, Drussila pun berusaha untuk bersikap sama. Ia mulai bisa mengendalikan perasaan bersalahnya. Tangannya mengusap lembut rambut Sang Kakak, dan menciumi dengan mesra wajah Caligula. Gadis ini usianya memang masih muda. Tapi secara psikologis ia lebih dewasa dibanding Sang Kakak. Untuk itu ia lebih tegar dalam menjalani hidup. Dan ia lebih dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang melanda keluarganya. Mengingat itu Drussila menangis dalam hati. Ia merasa sangat bersalah. Persetubuhan itu sulit untuk diterima. Tetapi di balik itu ia sangat kasihan melihat sikap Sang Kakak. Laki-laki itu amat goyah. Ia bak itik kehilangan induk. Ia kehilangan kasih sayang, setelah ayah dan ibunya tiada. Membayangkan itu, tak terasa, sambil mengelus rambut Caligula, ada butiran-butiran halus mengalir dari mata gadis ini. Drussila menangis. Tangis yang amat dalam untuk direnungkan. Kini ia bimbing tubuh kakaknya yang masih tergolek di atas tubuhnya. Ia baringkan tubuh itu disampingnya. Disapunya sisa-sisa keringat yang masih tersisa di leher laki-laki ini. Dan ia cium keningnya. Diperlakukan begitu, Caligula bergelenjot mesra. Ia rangkul adiknya. Ia permainkan payudara gadis ini. Ia kulum puting itu seperti bayi yang menyusui. Dan tak lama kemudian, laki-laki ini tertidur. Ia merasa mendapat kenyamanan. Ia merasakan kedamaian. Ada yang memberinya perlindungan. Drussila memang harus menjadi segalanya. Ia harus jadi teman bermain, ibu yang menyayangi, dan kekasih yang memberinya kepuasan seks dan membangun romantisme. Sebagai gadis yang belum makan asam garam kehidupan seks, sebenarnya ia belum siap. Secara moral hatinya menolak perlakuan itu, karena yang melakukan adalah kakak kandungnya sendiri. Sedang dari hati kecilnya, sebagai gadis normal, ia juga tak bisa memungkiri, ulah kakaknya itu membangkitkan naluriahnya sebagai gadis remaja. Ia terangsang. Saat Sang Kakak tidur lelap dengan mulut di puting payudaranya, gadis ini berpikir jauh. Ia harus merenung, dan memilih di antara pilihan-pilihan yang sebenarnya tak layak untuk dipilih. Tapi pagi itu ia telah memantapkan hati. Rasa sayang dan kasihan terhadap nasib kakaknya telah mengalahkan segalanya. Ia bertekad untuk memberikan segala yang diminta Sang Kakak. Tak perduli itu sangat bertentangan dengan berbagai doktrin kebaikan yang ada. (jss/bersambung)