Jika Direalisasi, PP Gambut Rugikan Kalbar Rp 63 Triliun dan 87.712 Nganggur

Senin, 03 Juli 2017

PP Gambut terus menunai kontroversi. PP itu tidak bisa direalisasi akibat dampaknya yang bakal menyulut kegoncangan. Selain akan melahirkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, merosotnya kesejahteraan masyarakat, juga rawan timbulnya amuk rakyat yang berdampak pada kamtibmas. Memang baru Provinsi Kalimantan Barat yang menyatakan menolak untuk mengimplementasikan PP Gambut ini. Tapi hingga kini belum satu pun provinsi lain yang berani merealisasi PP itu. Sebab akibat yang akan ditimbulkan diasumsikan sangat parah. Secara positif berbagai Pemerintah Daerah sadar, bahwa diterbitkannya PP Gambut itu merupakan upaya untuk melindungi ekosistem gambut. Namun itu dianggap sebagai kepentingan asing. Sebab di Serawak, Malaysia, justru lahan gambut telah memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Teknologi sudah mampu untuk mencegah dampak negatif dari lahan gambut. Juga para ahli gambut Indonesia. Untuk itu banyak pihak menilai, Peraturan Pemerintah yang  diterbitkan Menteri LHK , P. 17/MENLHK/SEKJEN/KUM I/2/2017 tentang Perubahan atas PP Menteri LHK nomor: P. 12/MENLHK II/2015 tentang pengembangan hutan tanaman industri adalah kontra produktif dan tidak berpihak pada rakyat. Apalagi Menteri LKH melakukan revisi terhadap Permen LHK nomor: P. 12/MENHLK - II/2015, yakni pasal 8 dan 9 dengan menambahkan pasal 8A, 8B, 8C, 8D, 8E, 8F, dan 8G, yang memerintahkan kepada pemegang IUPHHK-HTI untuk melakukan perubahan peraturan terhadap tata ruang kerja umum (RKU) secara keseluruhan terkait identifikasi gambut yang telah ditetapkan sebelum Permen LHK itu diterbitkan. Provinsi Kalimantan Barat bakal menghadap banyak kesulitan dengan terbitnya PP yang lazim disebut sebagai PP Gambut itu. Sebab sebelum PP dan Permen LHK itu diterbitkan, di daerah ini telah beroperasi 43 perusahaan yang berinvestasi di bidang kehutanan, khususnya dalam membangun hutan tanaman industri di Provinsi Kalimantan Barat yang perjanjiannya diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (sekarang LHK) yang mengacu pada RTRW sesuai dengan peruntukannya. Dan perusahaan-perusahaan itu telah mendapat persetujuan kelayakan lingkungan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Perusahaan itu juga sedang berjalan. Mereka juga beroperasi dengan tetap mengacu pada pedoman teknis pelaksanaan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dengan luasan sesuai dengan izin yang diterbitkan. Dalam surat Pemerintah Provinsi Kaimantan Barat yang ditujukan pada Presiden Jokowi itu, dari 43 perusahaan di bidang kehutanan, untuk 8 pemegang izin usaha memanfaatkan hutan kayu pada hutan tanaman industri. Dari lahan itu, seluas 364.671 ha wilayah kerjanya masuk dalam kawasan gambut. Dan direncanakan target penanaman seluas 243.423 ha dengan proyeksi produksi 301.836.900 m3 dan investasi dari aspek industri secara keseluruhan sebesar Rp 3.446.109.000.000. Dengan itu, maka total investasi pembangunan HTI dan industrinya sebesar Rp 62.997.871.706.667 (sekitar Rp 63 triliun). Dari nilai investasi itu, proyeksi pendapatan negara dimaksud berupa PSDH dan PBB sebesar Rp 3.662.248.136.671 belum termasuk pajak dan lainnya, serta proyek devisa negara sebesar USD 7.624.344.000 Ini masih bakal diikuti dengan terjadinya PHK yang menyebabkan timbulnya pengangguran. Itu akibat berkurangnya areal kerja yang harus menyesuaikan dengan luasan yang baru, sesuai dengan perubahan perencanaan dengan rencana kerja usaha. Diperkirakan bakal terjadi pengangguran setidaknya 87.712 orang tenaga kerja. Dan yang juga merawankan adalah mudahnya bagi orang untuk melakukan perambahan dalam kawasan hutan. Itu karena sebagian areal yang telah mengalami perubahan tata ruang melalui implementasi dari PP dan Permen LHK akan sangat rawan terhadap gangguan (open access). jss