Burung Surga (29) : Si Cantik Zaenab Disindir Bayan

Selasa, 20 Februari 2018

Tamat sudah riwayat Menco. Burung ini ibarat orang yang mengabdi pada tuannya di dunia. Jika salah ucap bisa mencelakai diri sendiri. Sebaliknya, jika itu diungkapkan dengan arif, boleh jadi kemarahan tuannya bisa reda. Bagaikan kebayan dan buruh kuli. Jika didamprat tuannya, tentu tidak akan berani membela diri. Berbeda dengan kehidupan di akhirat. Nanti Tuhan yang akan mengadili semua manusia yang melanggar ajaran-Nya. Itulah tamsil mengabdi kepada penguasa. Jangan berkata lancang. Jika perlu dilakukan sedikit demi sedikit walaupun bermaksud baik. Kendati sudah menjadi kebiasaan anak-anak muda sekarang yang sering kebablasan. Memiliki kepintaran sedikit saja sudah gampang berlaku sombong dan takabur. Punya uang sedikit lalu habis untuk jual bagus dan jual tampang. Jika dinasehati marah-marah, seperti perempuan yang mulutnya nyinyir. Melihat Menco tewas, burung Bayan dengan sedih dan penuh ketakutan mengucap lirih inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Bayan memutar otak. Bagaimana caranya agar ia bisa arif dan selamat dalam menghadapi tuannya, si ayu Zaenab yang sedang marah besar itu. Bayan berdoa semoga Tuhan memberi petunjuk kepadanya. Si Zaenab lalu berjalan menuju ke arah kurungan Bayan. Kain jaritnya disingsingkan. Betisnya yang mulus dan indah tampak bersinar. Tapi kali ini Bayan tak memperhatikan itu. Ia sangat ketakutan. Di saat-saat genting itu, tiba-tiba Bayan punya akal. Ia pura-pura tertidur. Lalu Zaenab mendekat ke sangkarnya. Ia berkata lirih, bertanya pada Bayan, apakah ia mendengar segala ucapan, dan melihat segala tindakannya tadi. Bayan diam saja. Ia seperti tidak mendengar ucapan tuannya itu. Ketika Zaenab berkata untuk yang keduakalinya, Bayan pun pura-pura bangun dari tidur. Ia mencoba berkata lirih, dan menyatakan sedang bersedih memikirkan anak dan isterinya yang sudah lama ditinggal pergi. "Tapi saya bahagia, karena istri saya tidak minta cerai, tidak seperti umumnya kaum perempuan. Jarang orang yang bisa melawan hawa nafsu yang sudah ditunggangi iblis, yang jika dinasehati lalu mematahkan leher si penasehat," kata Bayan. Mendengar itu Zaenab tahu arah pembicaraan Bayan. Itu seperti menyindir dirinya. Namun rasa rindu bercampur keinginan menepati janjinya dengan Sang Pangeran, kali ini Zaenab tidak marah lagi. Katanya, "Hei Bayan, aku baru saja diundang Raden Bagus Abdurrahman putra penguasa negeri ini." Zaenab pun segera menjelaskan semuanya dengan tuntas. Termasuk cemooh Menco yang lehernya sudah patah dibantingnya hingga tewas. (jss/bersambung)