Kolom Tofan Mahdi : Komunikasi Industri Sawit Zaman Now and Next

Selasa, 13 Februari 2018

Dalam setiap kesempatan bertemu dengan teman-teman media, baik cetak maupun elektronik, satu topik yang paling hangat dibahas adalah tantangan bisnis di era digital. Bahasa kerennya, menghadapi disruptive era zaman now. Terutama media cetak, tidak saja penjualan koran yang terus turun, pendapatan iklan juga -pelan tapi pasti-tumbuh negatif. "Kalau masih ada penjualan koran, itu mungkin karena masih ada generasi old yang belum sepenuhnya tune in dengan transformasi komunikasi digital saat ini," ujar seorang teman wartawan. Saya tidak sepenuhnya percaya dengan itu. Karena, bagi saya pribadi, membaca sebuah informasi bukan sekadar tentang kecepatan. Tetapi juga kedalaman, akurasi, dan kredibilitas baik media maupun penulisnya. Jadi, saya yakin, media konvensional akan tetap bertahan karena dalam tiga aspek yang saya sebutkan tadi, jauh lebih baik dibandingkan media berplatform digital apalagi dibandingkan dengan media sosial. Tetapi apakah generasi zaman now peduli dengan akurasi sebuah informasi? Bahkan generasi old yang hidup di zaman now pun seperti ikut menikmati inflasi informasi yang serba cepat dan instan. Benar atau salah, itu urusan belakang. Komunikasi Industri Sawit Berbeda dengan sektor lain yang lebih urban, sektor kelapa sawit yang agraris dan rural masih baru memulai membangun cetak biru komunikasi industri. Meskipun secara bisnis pasar produk minyak sawit besar dan captive, tetapi tantangan keberlanjutan menuntut industri sawit membuka diri. Bukan hal yang mudah tentu saja karena puluhan tahun industri ini menjadi besar tanpa perlu membangun komunikasi dan beriklan. Permintaan pasar yang tinggi sempat membuat pelaku usaha terlena untuk hanya berfokus pada urusan pasar dan operasional. Urusan lain seperti komunikasi adalah optional. Tetapi itu adalah wajah sektor perkebunan kelapa sawit zaman old, itu masa sekira lebih dari 10 tahun ke belakang. Di zaman now, pakar ekonomi menyebutnya sebagai disruptive era, tantangan industri sudah berubah. Para pesaing minyak sawit yaitu negara produsen minyak nabati non sawit, tidak tinggal diam melihat pertumbuhan minyak yang sangat pesat. Apalagi, dalam pasar minyak nabati dunia, sawit memegang pangsa pasar terbesar yaitu sekitar 31%. Sejak menjadi nomor satu di dunia itulah, berbagai kampanye negatif dan hoax terus bertebaran yang muara akhirnya adalah ingin menyudahi kejayaan sawit dalam pasar minyak nabati dunia. Isu kesehatan, emisi gas rumah kaca, isu-isu keberlanjutan, ketenagakerjaan, isu lahan, konflik sosial, hingga isu hak asasi manusia adalah sedikit dari ribuan isu negatif lain yang dialamatkan ke sektor perkebunan kelapa sawit. Jika berbagai kampanye negatif dan hoax ini tidak diatasi, bukan tidak mungkin industri penyumbang devisa ekspor terbesar nasional yaitu USD 23 miliar ini, lambat laun akan mati suri. Komunikasi Sawit Dari sejumlah survei independen yang dilakukan beberapa media, persepsi publik di Indonesia tentang kelapa sawit, dalam kurun 10 tahun terakhir, sudah jauh lebih baik. Dari data Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) tahun 2016, sekitar 55% pemberitaan media nasional (media cetak dan online) positif, 25% netral, dan 20% sisanya masih negatif. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan data tahun 2009 di mana sekitar 81% berita media nasional tentang sektor kelapa sawit adalah negatif. Jika ditelaah lebih dalam hasil survei tahun 2016 tersebut, sebagian besar informasi positif tentang sawit adalah terkait dengan aspek makro ekonomi (sumbangan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan wilayah). Berita tentang CSR perusahaan sawit belum signifikan. Sedangkan berita negatif terkait dengan isu-isu sosial dan keberlanjutan. Melihat data ini, ke depan, strategi komunikasi industri sawit (termasuk oleh masing-masing perusahaan perkebunan sawit) idealnya berfokus pada isu-isu tanggung jawab sosial perusahaan, sosial, dan isu keberlanjutan. Informasi tentang kontribusi ekonomi sawit, akan menggelinding dengan sendirinya. Tantangan Era Digital Lantas bagaimana persepsi netizen tentang sektor kelapa sawit? Dari hasil survei yang sama pada tahun 2016, warganet sepertinya belum tersentuh dengan program komunikasi sawit. Meskipun kita tidak bisa meraba secara jelas siapakah real community warganet itu, yang pasti 90% persepsi netizen tentang sawit masih sangat negatif. Tidak perlu riset yang terlalu dalam, kalau kita pernah mengikuti akun Twitter pesohor Leonardo de Caprio saat datang ke Aceh dan berciut tentang perlunya menghentikan konsumsi minyak sawit untuk melindungi habitat gajah, jutaan netizen mendukung ciutan itu. Sementara itu, jika ada status atau ciutan positif tentang sawit di media sosial, bisa dipastikan sekitar 90% warganet yang merespons akan bernada negatif. Itulah fakta. Bahwa sektor perkebunan kelapa sawit yang menghidupi 25 juta penduduk Indonesia ini juga sedang menghadapi disruptive era. Era komunikasi digital yang sepenuhnya tidak bisa kita kendalikan. Benar kata Dilan. Rindu kepada Milea itu berat. Tapi Dilan juga perlu tahu, mengelola bidang komunikasi di sektor perkebunan kelapa sawit itu jauh lebih berat. Kalian pasti tidak kuat, biar aku saja. Salam.([email protected]) *Tofan Mahdi, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007). Saat ini adalah VP Communications PT Astra Agro Lestari Tbk dan Kepala Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)