Temenggung Tarip : Suku Rimbo Itu Agamanya Islam

Selasa, 27 Juni 2017

Suku Rimbo masih tinggal di hutan Jambi. Mereka hidup nomaden. Berpindah-pindah tempat, dari satu hutan ke kawasan hutan yang lain. Namun jumlah mereka kini tinggal sedikit. Sudah banyak di antara mereka yang hidup menetap dan bermasyarakat. Semua itu bermula dari berbagai program yang dilakukan untuk mengentas suku yang hidup di hutan itu. Dalam proses waktu, akhirnya satu rombongan Suku Anak Dalam (SAD) atau secara spesifik disebut Suku Rimbo, mau keluar hutan. Itu adalah kelompok Temenggung Tarip. Kelompok ini beranggotakan 27 Kepala Keluarga (KK). Ini merupakan kelompok terbesar di suku itu. Mereka pun berusaha bermasyarakat, dan belajar hidup layaknya manusia normal, melalui pendampingan. Untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak suku ini, tahun 2009 itu PT Sari Aditya Loka 1 (SAL-1), salah satu anak perusahaan PT Astra Agro Lestari mendirikan Sekolah Alam Putri Tijah. PT SAL -1 ini berlokasi di Desa Muara Delang, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Ini merupakan salah satu kebun sawit tertua yang dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari Tbk. Sekolah yang didirikan ini merupakan pendidikan luar sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Suku Rimbo rombongan Temenggung Tarip. Suku ini semula berada di wilayah Penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas. Saat itu suku ini memang sudah mulai menetap, tetapi mereka masih berada di pinggir hutan dan mencari kebutuhan hidup sehari-hari di dalam hutan. Dari kelompok Temenggung Tarip itu, sekolah ini kala itu memiliki 30 orang siswa. Sekarang banyak alumninya melanjutkan ke SD, di SDN 191 Desa Pematang Kabau. Bahkan ada yang disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi di Jogyakarta, Jawa Tengah. Kini kelompok Temenggung Tarip sudah membaur dengan masyarakat. Mereka tidak lagi ‘berbeda’. Pelopor suku ini, Temenggung Tarip, juga tak henti-henti mengajak sukunya yang masih berada di hutan untuk hidup ‘maju’ keluar hutan. Malah ketika diajak omong-omong Sawitplus.com tentang cita-citanya, dengan tegas Temenggung Tarip mengatakan, bahwa Suku Rimbo harus mengenal dunia. Harus dikenal di dunia, dan berguna bagi dunia. “Di hutan tidak akan bisa melakukan itu,” katanya. Saat ditanya tentang keyakinannya memeluk agama Islam, maka Temenggung Tarip berkisah. Samar-samar, dia masih ingat nenek-moyangnya dulu sering bercerita, bahwa untuk hidup di kemudian hari, semua harus menyeberangi jembatan syirotol mustakim. “Itu saya ingat-ingat, kalau agama nenek-moyang saya itu Islam. Saya pun masuk Islam. Saya sudah berhaji, nama saya ganti Haji Jaelani,” katanya sambil tersenyum. Tentang perkembangan Suku Rimbo yang mulai bisa membangun hari depan itu, Tidar Bagaskara, salah satu petinggi SAL-1 menyebut, bahwa inilah bentuk nasionalisme perusahaannnya. “Kita ini warga Indonesia. Masak kita tega membiarkan saudara kita hidup di hutan tanpa kejelasan masa depan untuk anak cucunya,” katanya. jss