Prof DR Almasdi : Sertifikat ISPO Itu Butuh Jaminan Pemerintah

Selasa, 30 Januari 2018

Bagi Prof DR Almasdi Syahza, SE MP, pemerintah membuat banyak aturan, tetapi belum memberi jaminan. Ini yang membuat petani sawit selalu ada di persimpangan. Dia akan tetap sebagai obyek penderita dari segala masalah. Inilah lanjutan perbincangannya dengan Sawitplus.com. Untuk mendapatkan sertifikat ISPO ini kan mulai dari petani. Dari cara dia membuka lahan. Lahannya tidak di tanah yang berkasus, tidak di hutan lindung, sampai cara membuka lahan dengan tidak membakar, tapi memakai sistem mekanik yang bagus dengan memperhatikan lingkungan. Sampai dia menanam, tidak menanam di tingkat kemiringan yang tinggi, tingkat erosi, memupuk, sampai dia panen. Bibit yang mereka pakai adalah bibit yang bersertifikat. Baru dia nanti dapat sertifikat. Dia mempunyai kekuatan untuk menjual TBS-nya ke mana saja.  Kalau dia punya sertifikat, perusahaan-perusahaan harus membeli TBS dari petani yang sudah bersertifikat. Bukan bibitnya bersertifikat. Jadi cara pengolahannya juga punya sertifikat ISPO atau RSPO. Tidak mungkin CPO kita tidak boleh masuk lagi nanti. Dengan apa dia mau penuhi kebutuhan itu. Tapi catatan, walaupun tidak bisa masuk CPO Indonesia, Singapura yang memasukkan CPO, tapi beli ke Indonesia. Harga di tingkat petani itu dipengaruhi oleh pasar dunia. Untuk petani plasma, kan dia sudah ada tim penentu harga. Kalau swadaya menyesuaikan. Gak mungkinlah harga swadaya sama plasma. Swadaya itu tidak tahu asal usul bibitnya, tidak tahu cara pengelolaannya. Tapi kalau plasma dikontrol sama bapak angkatnya, tentu harga jualnya agak tinggi sedikit. Swadaya bibitnya gak jelas, wajar saja berbeda harganya. Tapi yang jelas ada standar harga untuk anggota PIR, swadaya menyesuaikanlah. Gak bisa juga swadaya ini menuntut harganya sama. Tanya saja ke petani swadaya itu, bisa gak dia menjamin bibit yang ditanamnya adalah bibit bersertifikasi? Kalau dari perusahaan, rendemennya tinggi. Kalau petani maunya beratnya yang tinggi. Kadang memang ada distorsi harga. Kelemahannya, apa jaminan bagi mereka yang sudah punya sertifika ISPO itu. Kan belum ada jaminanya. Berani gak pemerintah memberikan jaminan, bahwa perusahaan yang telah memiliki sertifikat ISPO itu, mulai dari PKS sampai ke Dumai (pelabuhan), tidak ada pungutan di jalan? Yang  gak punya sertifikat itu pungutlah, tapi yang sudah punya sertifikat seharunya kan tidak.  Sudah di pelabuhan, dijamin gak dia bisa langsung bongkar muat. Itu saja masalahnya. Kalau sudah seperti itu, baru terasa bagi mereka pentingnya punya sertifikat ISPO dan RSPO.  Tapi kalau gak ada, cuma dipandang-pandang saja ditempel di kantor, gak ada manfaatnya. Tentu yang semangat adalah yang baru buat sertifikat. Sertifikat RSPO itu kan permintaan rekomendasi dari Eropa. Kalau ISPO itu mandatory, wajib dari pemerintah. Tapi pemerintah belum juga memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang belum memiliki ISPO. Kalau saya sebagai pengamat, peneliti sawit, gak perlu risau dengan masalah itu. Pemerintah akan memperhatikan itu. Pemerintah gak mau juga dia rugi. Kalau kayak gitu, mau dikemanakan 27 juta ton setiap tahun itu. Tentu pemerintah berusaha cari pasarnya. Kalau tidak, pemerintah harus mampu menciptakan industri dalam negeri. oong