Burung Surga (8) : Amtenar Itu Bisa Ahli Neraka

Senin, 29 Januari 2018

Umumnya priyayi sekarang ini senang disebut amtenar, yang sebenarnya bisa berarti ahlinnar atau ahli nereka. Mereka tidak mau mengenal batas haram dan halal. Mereka membuat kesalahan sebagai kebiasaan, tanpa merasa menyakiti ketika tingkahnya itu membuat rakyat kecil menderita. Para pejabat itu merasa tampak gagah ketika memegang kekuasaan, dan penuh keyakinan diri. Namun begitu lengser dari jabatannya, mereka lalu kebingungan. Saat mencari pekerjaan, tidak ada lagi yang percaya. Rumah dan cikarnya (kendaraan angkut pertanian) dijual dan dibeli tuan besar. Saat-saat itulah sang priyayi itu bangkrut kemudian menderita kemelaratan. Jika malam, terkadang tidak jarang priyayi pensiunan itu menjadi makelar jabatan atau mata-mata penguasa untuk mengawasi rakyat yang hendak berontak. Mereka umumnya malu bekerja kasar, karena merasa sebagai mantan pejabat amtenar. Suka pamer ketika menjadi pejabat dengan kekuasaan besar dan kekayaan berlimpah, berbohong dan menyebar fitnah, telah menyebabkan jutaan rakyat miskin. Namun begitu, jika ditanya atasannya, jutaan rakyat miskin itu dikatakannya hanya seratus. Itulah perilaku sang putra mahkota yang bernama lengkap Raden Mas Abdurrahman yang tengah menjadi berita publik di seantero negeri Kustam. Di tengah kebaikan dan kejelekan pejabat di negeri Kustam itu hiduplah seorang juragan kaya yang dikenal sebagai Lurah Nangim. Lurah ini merupakan juragan muda, bagus rupa, yang hidupnya mriyayi seperti menir Belanda. Rumah sang juragan ini ditata rapi penuh bunga dengan taman dan kolam di halaman. Istrinya yang cantik kemenyut (seksi) bernama Zaenab. Kulit wanita ini putih bagaikan gelas, dan jika berpakaian gemerlap yang terbuat dari sutra penuh emas berlian, ia tampil bak bidadari dari kahyangan. Ki Lurah Nangim dan Zaenab adalah pasangan serasi. Mereka merupakan temanten anyar (pasangan baru) yang sedang berbulan madu. Siapa yang berkunjung ke rumahnya akan jengah melihat keduanya. Sebab hari-harinya selalu diisi dengan berkasih-kasihan. Seakan di dunia ini tak lagi ada yang sebahagia keduanya. Dan saking mabuk kepayangnya dengan cinta, keduanya lupa tentang etika dan tatakrama. (bersambung)