Apkasindo : Eropa Berusaha Membunuh Petani Sawit Indonesia

Jumat, 26 Januari 2018

Asmar Arsjad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia menegaskan, bahwa Eropa sedang  berusaha membunuh 5,3 juta petani sawit Indonesia. Itu dilakukan dengan  adanya gerakan sistematis di Parlemen Eropa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Parlemen Eropa dalam voting tanggal 18 Januari menyetujui proposal UU energy terbarukan  di dalamnya termasuk melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel mulai tahun 2021. Proposal ini harus mendapat persetujuan eksekutif Komisi Eropa dan Pemerintah negara-negara anggota untuk bisa diaplikasikan. Asmar Arsjad berusaha memperjuangkan nasib petani sawit Indonesia, dengan mendatangi Duta Besar Uni Eropa, supaya proposal ini ditolak. “Pelarangan minyak sawit untuk biodiesel di Eropa sama dengan kejahatan sistematis untuk membunuh 5,3 juta petani Indonesia yang hidupnya tergantung dari kelapa sawit. Sehingga kami meminta Uni Eropa untuk menghentikan upaya pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel serta menghimbau masyarakat Indonesia dan mendorong pemerintah untuk memboikot produk-produk Eropa,” katanya. Proposal larangan minyak sawit sebagai biodiesel di Eropa ini akan memukul Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dan para petani sawit Indonesia akan terkena dampak sangat serius. Upaya Parlemen Eropa melarang penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dilator-belakangi isu sustainability dan deforestasi di perkebunan sawit di Indonesia. Padahal pada kenyataannya Pemerintah Indonesia beserta Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) sudah memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi di masa lalu, sehingga tidak pantas dihukum atas isu-isu yang tidak bertanggungjawab. Seperti diketahui, kelapa sawit yang merupakan komoditi utama perkebunan telah menjadi motor pengentasan kemiskinan dan pendorong pembangunan pedesaan. Prestasi pemerintah Indonesia bersama dengan petani sawit dalam mencegah kebakaran hutan dan mengedepankan tata kelola lingkungan hidup yang berkelanjutan sudah semestinya dihargai dan dipercayai oleh dunia. Arsjad menyatakan, bahwa telah massif dilakukan pelatihan-pelatihan good agricultural practices yang mendorong praktik berkelanjutan yang mampu meningkatkan produktivitas. Dengan peningkatan produktivitas ini, para petani cenderung menghindari perluasan lahan sawit. Padahal dunia juga mengakui, bahwa kelapa sawit merupakan tanaman paling feasible memenuhi permintaan global minyak nabati tanpa memerlukan lahan besar. Untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati, kelapa sawit membutuhkan areal seperempat (0,25 hektar) dibandingkan dengan kedelai maupun rapeseed yang membutuhkan areal yang lebih luas 1-1,5 hektar. Maka, rencana pembatasan sawit sebagai biodiesel oleh Parlemen Uni Eropa adalah kejahatan serius bagi petani kelapa sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia juga sedang dalam proses perbaikan terus-menerus dalam hal manajemen perkebunan sawit yang semakin baik. Saat ini sudah terdapat ISPO (Indonesian Sustainability Palm Oil) yang menjadi kewajiban untuk dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit. ISPO ini juga menjadi indicator penting bagi pemerintah Indonesia untuk memonitor keberimbangan factor lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat petani. Arsjad juga menekankan, bahwa tudingan deforestasi di sector perkebunan sawit itu juga tidak menghargai Pemerintah Indonesia. Karena perkebunan sawit kebanyakan ditanam di areal penggunaan lain yang sudah ditetapkan oleh pemerintah atau lahan-lahan terlantar. Kelapa sawit bukan ditanam di areal konservasi. Arsjad mempertanyakan mengapa Eropa tidak peduli dengan fakta ini, Eropa lebih suka menuding sawit penyebab deforetasi tanpa melihat kenyataan yang ada di lapangan. Guna menyikapi isu ini, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menggelar konferensi pers, bersama komisi ISPO dan CPOPC yang juga akan melengkapi berbagai perkembangan penyelesaian hambatan di sector kelapa sawit. jss