Menyusuri Prostitusi di Sri Lanka (2) : Panggil Saja Namaku, Shanka

Ahad, 07 Januari 2018

Adalah Shanka (25), gadis yang tinggal di perkampungan nelayan Hikaduwa. Pertama ketemu dia sedang asyik minum teh di sebuah café kecil (orang Sri Lanka menyebut café atau kedai minum itu dengan istilah hotel. Jadi kadang sepanjang jalan bertaburan papan nama hotel, tetapi tidak satu pun yang menyediakan kamar untuk disewakan, red). Dia duduk sendirian. Sarapan sandwich dadar telor dengan secangkir milktea (teh campur susu, minuman paling digemari di negeri ini). Sesekali ia menyahuti gurauan pelayan café yang berbahasa Sinhala. Dan mereka asyik tertawa-tawa. Saat itulah sopir yang menemani saya ikut nimbrung. Ia tergelak dan menceritakan apa yang sedang diomongkan. Kata sopir itu, gadis manis yang sendirian itu adalah pelacur. Ketika saya bertanya padanya harga untuk kencan, tiba-tiba gadis itu nyelonong menjawab dalam bahasa Inggris. Ia menyodorkan dua pilihan. Untuk long time (semalam) 5 ribu rupee (kira-kira Rp 500 ribu), dan untuk short-time 2 ribu rupee (setara Rp 200 ribu). Ketika saya tawar seribu rupee (Rp 100 ribu) bukan untuk kencan, tapi untuk sekadar menceritakan pengalamannya sebagai pelacur, tiba-tiba dia tergagap. Mulutnya ternganga. Roknya yang menjuntai sampai mata kaki itu acap ditarik dan diturunkan kembali, sebagai ekspresi ketidakpercayaannya. Dia bertanya sekali lagi dan saya jawab dengan jawaban sama Yang kaget dengan tawaran saya tidak hanya Shanka. Tapi juga sopir etnis Sinhala yang mengantar saya. Dia menatap ragu. Mungkin karena itu dianggap aneh. Dia pun mengolengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebagai bentuk keraguannya. Ketika diyakinkan dengan identitas saya dari Indonesia, (semula dianggap orang Jepang), ia pun akhirnya mau. Hanya, ia minta syarat tambahan. Mentraktir makan siang, dan waktunya hanya dua  jam saat jam makan tersebut. (Biar pelacur, di negeri ini juga sangat disiplin). Alasannya, usai sarapan ini dia sudah harus menemui seorang tamu di sebuah kamar hotel (beneran) Oberoi-Sri Lanka. Tepat jam duabelas siang, di café yang sama, ia datang. Sambil berbasa-basi, ia memperkenalkan namanya, Shanka. Sambil makan siang itulah ia mulai berkisah tentang perjalanan hidupnya sebagai pemuas nafsu lelaki yang membutuhkan. Guide Amatir Sejak usia 12 tahun Shanka sudah terbiasa memandu turis yang datang ke Hikaduwa. Kebanyakan yang dipandunya adalah turis Eropa, Amerika, dan kadang-kadang dari Asia, terutama Jepang. Shanka memang sangat menguasai budaya setempat, karena ia lahir dan dibesarkan disitu. Bahasa Inggrisnya yang semula campurbaur dengan bahasa Sinhala, bahasa ibunya, kian bagus saja setelah ia banyak bergaul dengan para turis yang sering mengajaknya bicara di pantai. Dan dengan logat kanak-kanaknya, turis-turis itu minta ditunjukkan beberapa lokasi laut yang indah. Serta bagaimana kehidupan nelayan daerah ini mencari nafkah hidupnya. Dari profesi sebagai guide amatiran itu ia memperoleh imbalan. Ia tak mencantumkan tarif. Dikasih banyak ia terima. Dikasih sedikit pun ia tak memprotesnya. Buat Shanka kecil, uang yang diterima itu sangat berharga, karena untuk menambah uang belanja yang selalu kekurangan di keluarganya. Celakanya, gara-gara pendapatan Shanka yang terus meningkat itu, membuat keluarganya lupa, bahwa Shanka masih anak-anak. Ia tak mengurus lagi Shanka pulang atau tidak. Juga tak menanyai apa saja yang terjadi hari itu, tatkala ia tak tidur di rumah. Dan kebebasan ini sangat menyenangkan gadis kecil itu. Ia menganggap, turis-turis yang mengajaknya tidur di hotel itu adalah keluarganya sendiri. Apalagi, ia pun tak pernah diapa-apakan. Tak terasa, usia Shanka mulai merambat remaja. Limabelas tahun. Buahdadanya mulai tumbuh subur. Ranum. Tubuhnya sintal karena terus dinamis berjalan. Rambutnya yang ikal, bergelombang indah seindah ombak pantai tempat dimana ia dilahirkan. Suatu hari, ia mendapat tamu dari Switzerland. Namanya Jean, berumur kira-kira 35 tahun. Ia berniat tinggal di Sri Lanka selama satu minggu, dan ingin mengunjungi beberapa lokasi budaya di negeri ini. Termasuk beberapa peninggalan sejarah kerajaan Anuradhapura, yang letaknya dari Colombo, Ibukota Sri Langka sekitar 214 kilometer.  Shanka diajak untuk menjadi pemandunya. (Bersambung)