Siluman Ular Tanah Batak (3) : Sang Putri Kawini Siluman Ular

Selasa, 02 Januari 2018

Kunjungan yang ketiga adalah kunjungan terakhir si boru Tumandi. Itu bermula dari ibunda boru Tumandi yang bersikukuh ikut serta dalam perjalanan sang putri dan menantunya. "Menantuku, kali ini ibunda harus ikut ke negerimu. Sudah sekian lama kamu berumah-tangga dan keadaannya baik-baik saja, tapi ibu tidak mengetahui di mana rumahmu," ujar Ibunda si boru Tumandi. " Ibu, kami sangat menyayangi ibu dan bapak. Perjalanan  kami ini sangatlah berat. Tidak baik bagi ibu yang sudah berumur ini. Kami pun khawatir akan terjadi hal-hal yang membahayakan keselamatan ibu. Kami takut itu akan  membuat  perpisahan selamanya. Itulah sebabnya kami melarang ibu untuk ikut ke negeri kami. Setiap tahun kami selalu datang berkunjung, tapi kalau bisa ibu tak perlu ikut. Tak perlu khawatir dengan kami, ibu" kata sang menantu. "Tidak menantuku. Sudah kuputuskan harus ikut bersamamu dan tinggal beberapa lama disana," kata ibunda tetap bertahan dengan keputusannya. Karena ibu mertuanya memaksa, maka sang menantu tak kuasa untuk menolaknya. Akhirnya si menantu menjawab dengan sedih. Si Boru Tumandi pun meneteskan air mata. Dia paham benar akan apa yang bakal terjadi. "Kalau begitu keputusan ibu, baiklah, asalkan jangan menyesal di kemudian hari. Bawalah dedak padi sebakul penuh, dan sepanjang jalan taburkanlah dedak itu. Dedak-dedak itu akan menuntun ibu untuk pulang agar tidak tersasar," begitu syarat yang diberikan si menantu. Dan ibu mertuanya menuruti syarat itu. Setelah bertangis-tangisan, pagi-pagi buta mereka berangkat. Berjalan kaki menyusuri jalanan. Mereka kemudian masuk hutan yang gelap. Perjalanan hening dan mencekam. Masing-masing dipenuhi pikiran kacau. Dan tanda tanya, apa yang yang bakal terjadi nanti. Menjelang lewat tengah hari, sampailah mereka di tepi sungai yang sangat deras airnya. Si ibu tertegun sejenak, matanya memandang ke sekelilingnya. Mencari barangkali ada jembatan penghubung. Ia bertanya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar."Masih jauhkah rumahmu anakku?". Sang putri tidak menjawab. Hanya air matanya yang mengalir semakin deras. Sepanjang hari ditahannya kesedihan yang amat sangat. Dia merasakan hari itu adalah hari terakhir dia bertemu dengan ibunda tercinta. Juga hari akhir dia melihat ayahanda yang selalu memanjakannya. Ditanya begitu, dipeluknya ibunya erat-erat. Tangisnya meledak. Memenuhi tepi sungai dan sekelilingnya. Ibundanya menghibur, tetapi belum mengerti makna tangis anaknya itu. Pada saat itulah kaki Si Boru Tumandi melangkah masuk air bersama anak dan suaminya. Pada saat yang sama semuanya berubah menjadi ular yang besar-besar. Sang putri, anak menantunya, juga cucu-cucunya. Mereka semua berubah wujud  menjadi ular. Dan berenang meninggalkan ibundanya yang terheran-heran sambil bergidik dan panik. (jss/irsa/bersambung)