Begini Gaya Pacaran Muda-mudi Suku Baduy

Jumat, 29 Desember 2017

Cinta merupakan anugerah Sang Kuasa. Tak terkecuali Suku Baduy di pedalaman Banten. Suku terasing yang sudah tidak asing lagi ini memang beda. Mereka memilih hidup memisahkan diri dari peradaban yang carut-marut. ‘Bersembunyi’ di balik ketatnya tradisi dan adat, juga dalam soal tata cara perkawinan. Perjalanan cinta dua anak manusia Suku Baduy memang unik. Gaya pacaran mereka mengingatkan orang pada era Siti Nurbaya. Masih menjunjung tinggi moral dan budaya. Suku Baduy merupakan salah satu suku yang menolak kawin paksa, kawin di bawah umur maupun kawin lari. Suku Baduy juga tak mengenal poligami. Sebab, mereka menganggap menikah lebih dari sekali adalah tabu. Istimewanya lagi, orang tua tidak pernah turut campur dalam percintaan anak-anaknya sampai pemudanya memutuskan untuk meminang gadis idamannya. Seperti pada umumnya, kisah percintaan mereka diawali dengan munculnya ketertarikan pada lawan jenis. Jika seorang pemuda Baduy merasakan itu, langkah pertama yang dilakukan yakni menghubungi teman baiknya yang bersedia menjadi perantara. Dengan bantuan teman itu mereka saling berkirim pesan. Pesan janji untuk pertemuan rahasia. Uniknya, pertemuan itu bukan di tempat rahasia. Si pemuda justru akan mendatangi rumah tetangga si gadis. Dari rumah sebelah inilah si pemuda mengungkapkan perasaannya melalui petikan kecapi, tiupan seruling ataupun karinding (alat musik tradisional Baduy). Musik itu dimainkan hingga didengar oleh gadis idamannya. Ini yang dinamakan dengan nganjang. Nganjang atau pertemuan rahasia itu berlangsung terus tanpa sepengetahuan orang lain, kecuali perantara kepercayaan mereka. Orang tua dari kedua belah pihak pun belum perlu tahu. Sekali waktu mereka memang bertatap muka. Namun, pertemuan ini justru terasa canggung karena keduanya masih merasa asing satu sama lain. Jika pertemuan ini terjadi di depan umum, keduanya berlagak acuh tak acuh. Jika pemuda sudah merasa siap untuk meminang kekasihnya, barulah ia melibatkan peran orang tua. Pada dasarnya, orang tua Baduy tak mempersulit perjodohan anak-anaknya. Asalkan calon menantu bersikap sopan, tak melanggar adat, memiliki ladang garapan sebagai sumber nafkahnya, muluslah jalur perjodohan mereka. Kesiapan ini pun tak langsung ditanyakan orang tua kepada yang bersangkutan. Itu melalui perantara. Jika perantara menyatakan bahwa syarat-syarat di atas terpenuhi, maka terjadilah pinangan. Tujuh Hari Tujuh Malam Mula-mula, kedua belah pihak bertukar sirih sepenginangan tanpa sepengetahuan umum. Hari peminangan itu bisa dikatakan sebagai hari pertunangan mereka. Peningset-nya berupa ikat pinggang ukiran biji mentimun dan cincin kawin yang terbuat dari tembaga atau kuningan. Setelah itu, adat Baduy memberi tenggang waktu selama tiga bulan. Tujuannya agar calon suami-isteri itu siap dan barangkali ingin berubah pikiran. Jika perubahan pikiran itu berasal dari pihak laki-laki, semua ‘mas kawin’ yang diberikan dianggap hilang. Sebaliknya jika pembatalan itu berasal dari pihak wanita, akan dikenai denda adat. Yakni, pihak laki-laki akan menuntut ganti rugi lebih dari yang pernah diberikan. Jika dalam tiga bulan tak terjadi pembatalan, barulah diumumkan kepada sanak famili dan tetangga bahwa calon mempelai siap untuk dinikahkan secara resmi oleh Pu’un (kepala adat). Acara pernikahan yang dipimpin oleh Pu’un ini diawali dengan penyerahan anak laki-laki oleh orang tuanya kepada Pu’un. Demikian pula orang tua pihak wanita menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak angkat Pu’un. Setelah itu, barulah kedua mempelai didudukkan berdampingan. Pu’un akan memberikan nasihat seputar hidup berumah tangga dan kewajiban suami-isteri. Selanjutnya, tibalah saat yang mendebarkan, yakni ketika Pu’un membimbing mempelai pria untuk mengucapkan “Cupu manik tangkal dada, tan kumala eusina kumala inten”. Setelah bacaan ini selesai, mempelai pria memegang dada mempelai wanita sambil mengikuti ucapan Pu’un, “Malaekat Culuk kawali mulia rasaning Allah. Maka resmilah mereka berdua sebagai suami isteri. Ritual pernikahan sakral ini dilanjutkan dengan acara resepsi yang meriah. Mula-mula dilaksanakan adat-adat perkawinan seperti huap lingkung. Yaitu perlambang perkawinan dengan cara saling menyuap dan menekankan kedua tangan mempelai pada beras. Tangan siapa yang lebih banyak dilekati beras, berarti lebih banyak menguasai harta dalam rumah tangga. Seperti umumnya pesta, acara ini tak lepas dari makanan dan tari-tarian. Tak lupa melibatkan wayo, yaitu sejenis minuman yang terbuat dari nira aren dan kayu garu yang diasamkan berbulan-bulan. Wayo hanya dikeluarkan pada moment-moment penting. Biasanya, wayo juga digunakan sebagai media kontrasepsi keluarga Baduy. Setelah pesta berlangsung sehari penuh, tiga hari berikutnya pasangan suami-istri ini bermalam di rumah orang tua sang suami. Itu agar mertua lebih mengenal tabiat menantunya. Tiga hari berikutnya, giliran orang tua istri berhak mengenal watak menantu laki-lakinya. Setelah genap tujuh hari tujuh malam melalui ritual padat ini, akhirnya pasangan suami istri ini boleh menempati rumah mereka sendiri dengan diantar oleh sanak keluarga dari kedua belah pihak. iz/jss