Prof DR Santun Sitorus : Regulasi Gambut Itu Tidak Fair

Sabtu, 23 Desember 2017

JAKARTA-Guru Besar IPB Prof. DR Santun Sitorus meminta pemerintah berhati-hati dalam penetapan satu kebijakan pemanfaatan lahan. Itu agar tidak mengakibatkan berbagai implikasi yang berdampak pada kontraksi ekonomi. Menurut Santun, dalam penetapan regulasi gambut, perlu dipisahkan antara lahan gambut yang baik dan terdegradasi. Itu karena tidak semua lahan gambut berpotensi untuk kembali dikonservasi. Lahan-lahan gambut yang dimanfaatkan korporasi sebenarnya masuk kategori lahan terdegradasi. Pemerintah ketika itu menawarkan lahan-lahan rusak itu pada korporasi dengan pertimbangan mereka mempunyai dana besar untuk memanfaatkan lahan rusak itu melalui pengembangan riset dan pemanfaatan teknologi. “Jadi tidak fair menyebutkan korporasi sebagai perusak lingkungan karena lahan yang dimanfaatkan merupakan lahan gambut terdegradasi yang izinnya diberikan pemerintah saat itu,” kata Santun di Jakarta, Jumat (22/12). Santun juga mengingatkan, pemerintah perlu berhati-hati dalam menjanjikan lahan pengganti. Pasalnya, luasan lahan saat ini sangat terbatas dan prioritasnya adalah untuk persawahan. “Jangankan menjanjikan luasan lahan hingga ratusan ribu sebagai pengganti, luasan lahan 20,000 ha per tahun untuk pangan saja sulit didapat,” katanya. “Bahkan, sebenarnya mustahil ada lahan pengganti untuk masyarakat dan industri yang terkena aturan PP Gambut. Kalaupun ada, luasannya terbatas serta statusnya tidak clear and clean, sehingga akan menimbulkan banyak masalah ke depan,” tambah Santun. Karena itu, saran Santun, implementasi perubahan fungsi budidaya menjadi fungsi lindung sebaiknya dilaksanakan setelah ada kepastian tersedianya lahan pengganti yang telah terverifikasi lokasi dan luasannya. Dia juga mengingatkan PP Gambut harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya, regulasi itu mempunyai dampak sangat besar terhadap tenaga kerja di industri sawit. Dampak ekstrem yakni sebanyak 590.000-740.000 petani akan kehilangan pekerjaan hingga tahun 2020. Selain itu, diperkirakan terjadi pengurangan lahan sawit hingga mencapai 2 juta hektar pada tahun yang sama. Menurut dia, sebaiknya pemerintah tetap mengizinkan industri untuk melakukan aktivitas budaya dengan syarat mampu mengimplementasikan teknologi terbaru seperti tata kelola air yang mampu meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan.