Ritus Suku Senak (4-Habis) : Siklus Hidup dan Darah Persembahan

Ahad, 10 Desember 2017

Sonaf Maslete posisinya sangat penting bagi suku-suku di bawah kekuasaannya. Dari sonaf ini kehidupan dimulai. Dan dari sonaf ini pula kehidupan diakhiri. Segalanya hampir tak bisa berjalan tanpa melalui istana yang disakralkan ini. Jadi jangan kaget, sampai sekarang, jika panggilan upacara tiba, mereka pun datang bergelombang menyusuri lembah dan jurang, di mana mereka tinggal. Datangnya upacara hai niki ume tidak dapat diprediksi. Sering mereka harus menunggu untuk waktu yang sangat lama. Apalagi, yang namanya  upacara, masih banyak lagi yang digelar di sonaf. Semuanya wajib untuk diikuti. Pada bulan Januari, misalnya, terdapat sebuah upacara yang disebut natama maus. Dalam upacara ini, suku yang masuk dalam kelompok suku Senak berduyun-duyun datang dari berbagai daerah pedalaman. Mereka membawa tujuh bingkisan sesajen, yang semuanya terbuat dari jagung dan padi. Sesajen itu tidak untuk dimakan. Padi dan jagung itu disimpan di dalam Sonaf. Dan akan diambil kembali sebagai biji-bijian yang akan ditanam kembali. Mereka percaya, bahwa biji yang sudah disimpan di Sonaf Maslete mempunyai kekuatan. Kekuatan untuk melawan penyakit yang menyerang warga, atau melawan penyakit tanaman. Pada hari Minggu di minggu-minggu tertentu di bulan Maret, terdapat upacara tahfeo yang berarti makanan baru. Pada upacara ini setiap orang membawa sebengkalai jagung ke Sonaf dan dimakan bersama-sama. Di bulan Agustus, masyarakat juga menyelenggarakan fenono hau ana, yaitu upacara pembukaan hutan, dengan mengorbankan hewan sebagai persembahan. Hewan-hewan yang dijadikan korban itu antara lain sapi, lembu, domba, dan babi, tergantung kondisi ekonomi yang bersangkutan. Upacara yang terakhir, yaitu fua ton atau eka ho'e, yang berarti upacara untuk mencegah terjadinya erosi. Upacara ini dilakukan pada bulan Desember. Kegiatan ini memang di luar Maslete. Tapi untuk memulainya terlebih dahulu wajib di dalam Sonaf. Pesertanya harus berjalan berduyun-duyun menuju puncak bukit dan mencari sebuah pohon besar yang disebut toko. Disini dilakukan pembunuhan hewan yang darahnya diletakkan di atasnya. (Habis/Djoko Su’ud Sukahar)