Kolom Okta (2-Habis) : Perubahan Bukan Kambing Hitam

Ahad, 10 Desember 2017

BERADA di tengah orang-orang yang membicarakan gagasan tentang masa depan selalu menyegarkan pikiran. Mengingatkan bahwa perubahan harus diantisipasi. Harus disikapi. Bukan dijadikan kambing hitam akibat kegagapan kita menghadapi dinamika yang serasa beradu cepat dengan waktu. Spencer Cox, 38, sang Sekda dari Utah, mendiskusikan kehadiran sebuat alat yang diperkirakan bakal mengubah wajah dunia, terutama lanskap industri manufaktur. Kini telah datang era di mana orang bisa mengunduh gambar barang atau alat tertentu dan memproduksinya sendiri. Iya, memproduksinya sendiri ! Tidak mustahil lagi: pas butuh gelas plastik dengan warna favorit, kita tinggal pergi ke garasi dan mencetak gelas itu sendiri. Tanpa harus pergi ke toko atau supermarket, kita bisa mendapatkan gelas persis seperti apa yang kita inginkan. Atau misalnya, jika kita suka terhadap gelang milik sahabat, kita bisa memindai gelang tersebut dan kita bikin sendiri replikanya dengan tingkat akurasi tinggi. Semudah itu. Alat revolusioner yang dibicarakan Spencer Cox adalah printer tiga dimensi (3D), merujuk pada apa yang ditulis Nicco Mele dalam buku yang dirilis tahun lalu, The End of Big. Printer 3D sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan 1980-an. Kala itu, alat tersebut hanya dimiliki institusi atau perusahaan besar, di antaranya dipakai untuk membuat prototipe produk sebelum diproduksi massal atau miniatur dari desain arsitektur. Baru tiga-empat tahun belakangan ini printer 3D mulai dipasarkan secara komersial.  Harganya relatif terjangkau untuk dimiliki individu-individu: US$ 1.500 – US$ 2.000. Kalau saya tidak salah, alat ini mulai beredar di pasaran Indonesia sejak tahun lalu. Di AS, alat ini menjadi bahan perbincangan publik sejak dipasarkan secara luas pada tahun 2010. Termasuk di antaranya pembahasan tentang bagaimana pemerintah akan membuat aturan mainnya. Cody R Wilson, 26, bikin heboh lantaran membuat dan mempublikasikan desain senjata yang bisa dipakai untuk printer 3D. Lulusan University of Texas School of Law itu bisa membuat spare part senjata, dan hasilnya sangat kompatibel jika dipakai bersamaan dengan spare part senjata betulan. Terlepas dari segala perdebatan itu, fenomena printer 3D memperkuat pola pergeseran struktur power dari institusi-instituasi besar ke tangan individu. Dalam sebuah presentasinya, penulis bukuThe End of Big menggambarkan pola yang sama terjadi pada kelahiran personal computer (PC) hingga telepon pintar yang menempatkan dunia dalam sekepal tangan. Evolusi keduanya mengubah banyak hal. Media sosial tumbuh subur, arus informasi tidak lagi bersifat searah, suara individu makin nyaring terdengar, hingga strategi berpolitik pun turut berubah. Pada tahun 1970-an, komputer hanya dimiliki institusi besar pemerintah dan perusahaan raksasa. Meski kala itu disebut super computer, ukurannya masih segede almari. Kecepatannya pun masih kalah jauh dibandingkan telepon pintar kita saat ini. Waktu itu harga super computer masih selangit, bisa mencapai US$ 5 juta. Publik merasa tidak lagi nyaman dengan penguasaan komputer oleh institusi besar yang, salah satunya, dipakai untuk mendukung perang. Di AS lantas muncul gerakan untuk melepaskan komputer dari kekangan institusi besar. Komputer harus juga menjadi milik individu-individu. Hingga lahirlah generasi pertama PC pada awal 1980-an yang terus berkembang sampai sekarang dengan harga yang jauh lebih murah. Hal yang sama sangat mungkin terjadi pada printer 3D, yang akan mengubah secara drastis ‘aturan main’ di muka bumi. Lewat pidatonya di hadapan ratusan pengusaha di bidang manufaktur di negara bagian Utah, Lieutenant Governor Spencer Cox mengingatkan gelombang perubahan besar yang segera datang. Pria yang berlatar belakang advokat itu mengajak semua pihak berpikir dan bergerak bersama untuk mengantisipasi perubahan. “Tidak peduli Anda berasal atau berafiliasi dengan partai apa, mari kita sama-sama bergandeng tangan sebagai sebuah bangsa agar terus maju menghadapi perubahan,’’ tegas Cox. Dalam acara jamuan makan siang itu, hadir juga para legislator dari Partai Republik dan Partai Demokrat yang diundang di sela-sela sesi legislatif yang tengah berlangsung di Utah, akhir Februari lalu. Cox sendiri berasal dari Partai Republik. Sekali lagi, pelajaran yang dapat dipetik, bahwa perubahan tidak bisa dihindari. Ia akan bersikap “ramah” jika kita mempersiapkan diri dengan baik. Jangan terbiasa menutupi kegagapan kita dalam beradaptasi dengan mengambing-hitamkan sesuatu yang tak jelas wujudnya: “Ini gara-gara ada konspirasi”, “Pihak ini-itu ingin mendzalimi kita”. Sebab ujung-ujungnya, kita sendiri yang bingung dan akhirnya tak melangkah kemana-mana karena sibuk mengutuk sana-sini. (okta heri fandi/habis)