Ritus Suku Senak (3) : Sonaf dan Mistisisme Gunung Mutis

Sabtu, 09 Desember 2017

Masyarakat Timor pada hakikatnya baik. Mereka familiar, dan gampang bersahabat. Hanya karena penjajah Portugis menerapkan manajemen konflik, serta perang Timor Timur yang menyemaikan benih dendam, akhirnya persahabatan itu acap harus diberi intro. Seperti suku yang terhimpun dalam Sonaf Maslete ini. Mereka tak terpengaruh dengan persoalan politik. Jika ada upacara yang wajib dihadiri, maka suku-suku yang ada di Timor Barat dan Timor Timur itu pun menyatu. Mereka berdatangan dari Ambeno, Dili, Los Palos, yang merupakan kota-kota di Timor Leste. Mereka semua menyatu di Kefamenanu (TTU). Dalam peta mistik daerah ini pun, mereka tidak terkotak-kotak. Gunung Mutis yang menjulang tinggi di dua negara itu sama-sama mereka sakralkan. Masyarakat Timor Barat maupun Timor Leste saling meyakini, bahwa di gunung itulah kekuatan-kekuatan yang disembahnya tinggal. Kekuatan itu mengawasi jalan hidup kesehariannya, memberikan berkah terhadap jalannya nasib, dan menebarkan wabah yang menyengsarakan. Maka jika kekuatan kekerabatan itu kemudian berubah menjadi sikap permusuhan, sudah jelas, ada apa dan siapa di balik perkara itu. Lopo dan Sonaf Bangunan Sonaf Maslete, jika dilihat dari jauh mungkin bentuknya tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah tradisional masyarakat Pulau Timor (lopo). Bentuknya bundar dengan satu pintu. Tempat duduknya yang melengkung berada di tengah-tengah, termasuk dapur. Sedang di bagian atas rumah terdapat attic yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan. Sonaf ini mempunyai rancangan khas. Bangunannya dibagi menjadi dua bagian yang disebut ni atoni (laki-laki di luar) dan ni bifel (wanita di dalam). Keduanya mengandung arti, bahwa laki-laki harus tinggal di ruang depan, sedangkan wanita berada di dalam rumah. Konstruksi bangunan Sonaf itu sangat sederhana. Hanya terdiri dari lael (atap rumah), tapani atau lata (atap yang terbuat dari dedaunan), noonono (kerangka atap kecil), suaf (kerangka atap besar) ni anaf (bangunan bundar kecil) dan dua buah pilar. Antara kerangka atap besar (di Jawa disebut usuk), dipasangkan semacam tongkat yang disebut lote. Jumlahnya empat puluh enam lote yang berwarna-warni. Lote itu berasal dari suku yang yang ada di bawah naungan sonaf ini. Baik suku minoritas maupun yang mayoritas. Disebut suku mayoritas bila anggota sukunya mencapai 40-50 orang, yang harus mempersiapkan dua lote. Sedangkan bagi suku minoritas yang terdiri 10-20 anggota hanya mempersiapkan satu lote saja. Setiap lima belas sampai dua puluh tahun, sonaf ini dipugar kembali. Pemugarannya dilarang menggunakan gergaji. Kayu yang dipakai harus dipotong atau ditebang dengan sabit. Juga tak diperbolehkan memakai paku. Untuk menyambung bagian satu dengan yang lain digunakan rumput-rumputan. Rumput tersebut diambil dari hutan melalui upacara ritual terlebih dahulu. Untuk upacara penutupnya disebut hai niki ume, di mana setiap suku yang tergabung dalam komuni sonaf ini menari dan menabuh gong selama tujuh hari tujuh malam. (Bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)