Memanggil Ratu Kidul (1) : Tari Bedaya Penghormat Penguasa Laut Selatan

Jumat, 08 Desember 2017

Kesenian Sintren, tayub, gandrung atau seblang diyakini bisa mendatangkan roh. Tarian ini membuat penarinya kesurupan, trance. Sementara itu juga ada tari yang diyakini mampu mendatangkan Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Tari ini adalah Tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang. Tarian ini biasa digelar di Yogyakarta, dipentaskan hari Selasa Kliwon, dengan jumlah penari sembilan orang. Mereka harus masih gadis dan dalam kondisi suci lahir dan batin. Begitu juga para nayaga-nya (penabuh gamelan). Tapi apakah benar Ratu Kidul bisa dipanggil lewat pagelaran tari sakral dan penuh nuansa magis? Banyak yang tidak percaya. Sebab Ratu Kidul bukan mahluk hidup layaknya manusia. Kendati diyakini menyukai tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang. Konon, tradisi pemanggilan ini sudah dilakukan sejak Sultan Agung memimpin Kerajaan Mataram. Terus digelar raja-raja keturunannya. Dan dilestarikan hingga kini. Menurut Choy dalam bukunya tentang Kanjeng Ratu Kidul (1976 : 174), tarian Bedaya Semang adalah tarian memperingati dan menghormati Ratu Kidul. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buana IX, gending Bedaya Semang pernah dicoba untuk dilestarikan. Sekitar tahun 70-an, yang kedapuk melaksanakan adalah Tepas Kridomardono selaku Departemen Kesenian Kraton di bawah bimbingan Raden Lurah (RL) Sastrapustaka selaku abdi dalem Kridomardono. Namun yang terjadi, para nayaga dan penari, semuanya mengundurkan diri. Mereka takut kena tuah. Padahal untuk acara itu sudah didahului dengan ritus mohon izin ke makam Imogiri, makam Sultan Agung, restu ke Parang Kusuma yang diidentifikasi sebagai Kraton Ratu Kidul. “Menurut pengakuan para nayaga, mereka belum diperkenankan Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul, “ tulis Choy. Menyikapi pengunduran diri itu, Raden Lurah Sastrapustaka menyalin lagu gamelan Bedaya Semang itu dari huruf Jawa ke huruf Latin. Ini disertai sesaji kecil sebelum sesaji besar pada waktunya. Tapi, saat mengerjakannya, antara sadar dan tidak dia merasa didatangi priyayi (lelaki terhormat dari kalangan ningrat) berumur. Lelaki itu bilang “ Kamu kok bandel sekali. Siapa saja yang hendak menyalin gending Semang pasti akan meninggal.“ Saya jawab, “saya tidak mengubah, tetapi ingin memberi penghormatan.  Setelah saya jawab begitu orang itu pergi, “ aku Sastrapustaka. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)