Songket : Simbol Keagungan Wanita Suku Sasak

Selasa, 05 Desember 2017

Songket juga lambang keterampilan dan keagungan gadis-gadis desa. Makin banyak koleksinya, makin banyak pula pemuda yang dipacarinya. Bahkan tak jarang songket menjadi biang keladi pertumpahan darah para pemuda Sukarara. Oh ! Pembuatan kain songket di daerah ini memang penuh dengan misteri. Tidak hanya mengandung lambang keagungan saja, tetapi pembuat songket juga harus dijauhkan dari pandangan kaum lelaki. Jika pantangan ini dilanggar dapat menyebabkan impotensi dan penyakit berat pada pelanggarnya. Songket atau kain ikat memang mendapat nilai khusus di mata pecinta benda seni. Terutama jika dibuat secara tradisional. Masuklah ke desa Sukarara, Lombok Tengah, NTB, maka pemandangan khas akan menyambut pengunjung terpesona. Di beberapa sudut rumah yang agak tersembunyi tampak beberapa wanita duduk menggarap kain tenunan. Kakinya terjulur, di pinggangnya terdapat kayu penahan beban yang dihubungkan dengan perangkat tenun lainnya. Bunyi tek..tek.. menjadi musik rutin sepanjang pagi hingga sore. Menenun memang menjadi bagian kehidupan sehari-hari wanita Sukarara. Tukang tenun adalah profesi turun-temurun bagi para wanita di Sukarara. Keahlian menenun juga dianggap lebih penting dibandingkan ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah. Ini disebabkan adat-istiadat yang mengharuskan seorang gadis menyerahkan hasil tenunannya yang terindah kepada calon suaminya. Itu ukuran kesempurnaan seorang wanita dilihat dari keterampilannya membuat kain tenunan. Sejak kelas empat SD, seorang gadis diharuskan belajar menenun sepulang sekolah. Sebagian besar malah tak berniat melanjutkan sekolah. Keterampilan ini harus diasah terus hingga beranjak dewasa. Kalau seorang gadis punya banyak koleksi tenun, gadis kreatif, maka banyak pemuda yang berminat menikahinya. Dan jika seorang gadis memiliki lebih dari satu peminat, mereka dapat dipacarinya sekaligus dengan mengatur jam midang (apel). Namun jika perebutan tak terelakkan, maka bisa saja terjadi pertumpahan darah untuk mendapatkan gadis idaman. Dalam hal ini adat membenarkannya. Ketika menikah, seorang wanita harus menyerahkan tenunan hasil karyanya semasa gadis kepada calon suaminya. Penyerahan dilakukan setelah keduanya melakukan selarian (kawin lari), yakni bersamaan dalam upacara surung serah, penyerahan emas kawin dalam tradisi dipadu dengan aturan agama Islam. Isinya berupa kepeng penyurung (uang adat), dengan pengusap malak (kain pembungkusnya), kain lekasantumpuan wirang (berupa senjata tajam), serta penginang. Bagian dari tradisi yang sampai kini masih melekat adalah keyakinan, bahwa kegiatan menenun adalah monopoli kaum hawa. Memang ada satu-dua laki-laki yang terlibat, namun sifatnya jadi kewanita-wanitaan. Itu karena menenun menghabiskan waktu seharian,  kaum wanita terbebas dari tugas rumah tangga. Memasak nasi, mengasuh anak, dan pekerjaan rumah tangg lainnya dilakukan oleh kaum pria. Ketika tiba waktunya menggulung benang, ini dianggap sakral. Kaum lelaki tak boleh mendekat, apalagi melihat. Kegiatan ini dilakukan di tempat yang tersembunyi, yakni di lumbung yang tertutup. Perancang motif, profesi yang disegani, juga pantang merancang di malam hari. Jika aturan adat ini dilanggar, maka mengakibatkan jalinan benang mengendur sehingga hasil tenunan dipastikan buruk. Yang lebih mengerikan  jika pantangan ini dilanggar adalah timbulnya gangguan penyakit fisik. Beberapa pria terbukti menderita impotensi setelah melakukan pelanggaran adat. Apakah gangguan ini disebabkan oleh faktor fisik atau metafisika, rupanya masih menjadi perdebatan. Meski wanita pengrajin songket tak terbilang jumlahnya, namun profesi perancang motif masih terbilang langka. Sebab, merancang motif tak hanya membutuhkan kelihaian mendisain melainkan juga kemampuan jampi-jampi dan doa. Tak mengherankan jika perancang pakar di desa Sukarara adalah wanita-wanita paruh. Beberapa motif semacam wong menak (arjuna), ular naga, dan subahnala adalah motif warisan leluhur dan dianggap sakral. Konon, subahnala jadi lambang adat raja dari Karangasem, Bali, yang pernah berkuasa di Lombok Tengah. Penamaannya didasari ucapan syukur dari seorang wanita penenun yang merasa lega ketika pekerjaannya usai, “Subhanallahu wata’ala” desahnya. Akibat pengaruh logat, maka nama motif tersebut berubah menjadi subahnala. Motif ini berupa bunga berkelopak tiga yang sedang mekar. Tiap ornamennya melambangkan jalan yang harus dilalui manusia menuju keutamaan hidup. Sedangkan motif-motif semacam ragi genapkemah, dan motif lainnya didisain untuk memenuhi selera pasar, sehingga tak membutuhkan ritual khusus untuk merancangnya. Keistimewaan seorang perancang tertua adalah, dia berhak menenun leang (kain kafan) yang benangnya diambil dari kualitas paling sederhana (agar mudah membusuk di tanah), lalu dicuci bersih, dan diolesi nasi supaya kuat dan mudah dipilah. Penenun leang memang harus orang tertentu. Begitu pula waktu pembuatannya pada bulan-bulan khusus, yaitu Ramadhan, Maulid, dan Rajab. Sedangkan bulan-bulan lainnya, tanpa alasan yang jelas, tak diperkenankan menenun leang. Aturan ini masih ditaati hingga kini. Hanya saja, makna songket sebagai persembahan kepada calon suami telah beralih fungsi menjadi penyangga ekonomi rakyat Sukarara. izma/jss