Nyiur Melambai di Negeri Seribu Parit

Jumat, 14 April 2023

Seorang pekerja sedang membersihkan sabut yang masih menempel.

BAK memasuki kota seribu satu malam, Tembilahan tampak gemerlap. Lampu-lampu bersinar terang di deretan pemukiman sepanjang jalan.

Aneka dagangan tersaji dari rumah-rumah yang sebagian besar telah disulap menjadi tempat berjualan. Bengkel sepedamotor, tukang pangkas, dan penjual jasa lainnya yang masih buka sampai malam membuat ibukota Kabupaten Indragirihilir (Inhil) ini menjadi kian semarak.

Gegap-gempitanya suasana di Tembilahan serasa mampu mengalahkan atau setidaknya menyamai kota Duri, di Kabupaten Bengkalis yang sering dijuluki sebagai kota minyak. Padahal di kabupaten terujung di Provinsi Riau ini tidak ada minyak sama sekali. Sebanyak 70 persen penduduk Inhil justru mengandalkan hidup dari penghasilan kelapa.

Ziarah ke makam  Mufti Indragiri Tuan Guru Syekh Abdurrahman Shiddiq, yang memelopori pembuatan parit di kebun kelapa

 

Namun, kendati terbilang jauh dari Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, gaya hidup masyarakatnya boleh dikatakan tak seperti orang desa yang bersahaya. Warga yang berseliweran di jalanan tampak mentreng dengan sepatu bermerek semacam Adidas, Nike, Puma. Kaum wanita bergaun impor dan memakai tas mewah Hermes, Chanel, Cristian Dior, dan sebagainya. Meskipun barang mewah ini dibeli di deretan penjual barang bekas PJ atau Pasar Jongkok yang ada di sana.

Bergairahnya kehidupan warga 
Tembilahan memang tak lepas dari hasil panen kelapa. Seperti diketahui, kabupaten ini memiliki kebun kelapa seluas 341
.072 hektare atau terluas di tanahair. Tanaman tersebut umumnya sudah turun-temurun warisan dari leluhur.

Sejak zaman Hindia Belanda kawasan ini telah dikenal sebagai penghasil kelapa. Bahkan, pada 1918 Mufti Indragiri Tuan Guru Syekh Abdurrahman Shiddiq, telah memodernisasi kebun kelapa. Bersama keluarga dan muridnya membuat parit-parit untuk mengatur sirkulasi air pasang dan surut air laut. Dengan sistem kanalisasi ini
parit yang dikorek berfungsi menyuplai kebutuhan air bagi tanaman kelapa saat kemarau dan tidak terendam saat air pasang atau hujan. Kanal juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengangkut kelapa. Banyaknya hamparan parit membuat Inhil dijuluki Negeri Seribu Parit.

Sistem parit atau kanalisasi yang dipelopori Tuan Guru Syekh Abdurrahman Shiddiq, ternyata juga diterapkan PT Pulau Sambu saat membuka perkebunan kelapa secara modern di Pulau Burung, Sei Guntung, Kecamatan Kateman, Inhil pada1980-an lalu. Kini perusahaan milik Tay Juhana itu sukses sampai ke mancanegara dengan produk santan, minyak kelapa, dan aneka komoditi lain berbahan baku kelapa.  

Rantai Pasar

Sebagai primadona sumber ekonomi,  perkelapaan di Inhil tentu mengalami pasangsurut juga. Saat ini, misalnya, harga kelapa anjlok sampai Rp 1.500 per kilogram. Sebelumnya harga sempat bertengger di posisi Rp 3.200. Satu butir kelapa beratnya sekitar 1 kilogram lebih.

Namun, di tengah gonjang-ganjingnya harga, kehidupan warga masih belum kelihatan oleng. Dinamisasi warga masih tetap tampak menggeliat sejak pagi hingga malam. Cafe dan pusat jajanan menjamur di berbagai penjuru.

Terjadinya fluktuasi harga dan menurunnya penghasilan kelapa disebabkan beberapa faktor utama. Antara lain karena banyak pohon yang telah tua sehingga kurang produktif. Tak sedikit pula tanaman kelapa yang punah akibat serangan hama dan rusaknya drainasi.

Bibit yang tidak bagus ikut mempengaruhi kualitas buah. "Selain itu rantai pasar yang panjang pun jadi penyebab murahnya harga dari petani," kata Abdurrahman, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Inhil.

Untuk mengurangi rantai pasar yang panjang, menurut Ahim Ginting, humas PT Pulau Sambu, perusahaannya telah membuat sentra penampungan langsung kelapa dari masyarakat. Tidak melalui pedagang perantara lagi. Kelapa masyarakat dijadikan bahan baku minyak goreng di kilangnya.

Sedangkan kelapa yang tidak dijual ke pabrik masih tetap terserap pasar. Sebagian dibawa ke Pekanbaru, dan kawasan sekitarnya, bahkan juga sampai ke Jakarta dan dikirim ke Malaysia.

Gonjang-ganjingnya harga kelapa, menurut Ginting, akibat belum adanya tata niaga kelapa. Di kelapa sawit pemerintah menentukan harga eceran tertinggi (HET) buah sawit. Sedangkan harga kelapa masih tergantung sepenuhnya kepada pasar.

Harga bisa naik kalau ada permintaan pasar yang besar, terutama dari luarnegeri. Namun, Ginting menyayangkan karena kelapa ekspor belum ada bea keluar atau pajak ekspornya, sehingga tidak menjadi sumber pemasukan bagi negara.

Karena itu Ginting berharap pihak luarnegeri membangun industri pengolahan kelapa di Riau. Ini akan memberikan nilai tambah baik dari tenaga kerja, pajak, alih teknologi, dan lainnya.

Ginting juga menyayangkan karena selama ini kelapa hanya dijadikan sebagai bahan baku minyak goreng. Padahal
banyak industri minyak goreng yang terpaksa tutup karena hanya menghasilkan satu produk itu semata. Padahal, seperti diketahui tipis keuntungan membuat minyak goreng karena biaya produksinya besar.

Seharusnya ada diversifikasi produk. Seperti dilakukan PT Pulau Sambu yang memproduksi santan kelapa dan nata de coco dari bahan baku air kelapa. "Itulah yang jadi produk unggulan kami," katanya.

Masuk Kawasan Hutan

Pemkab Inhil sendiri, menurut Abdurrahman, sudah melakukan berbagai upaya untuk perkelapaan. Seperti perbaikan tanggul sepanjang 1.000 kilometer untuk melindungi kebun kelapa petani dari genangan air dan intrusi air laut. Solusi lainnya adalah membuat akses jalan. Selama ini kelapa dibawa dengan perahu, sehingga costnya jadi semakin tinggi.

Untuk peremajaan pohon kelapa, menurut dia, juga menghadapi kendala. Sebab sebagian kebun kelapa itu masuk ke dalam kawasan hutan. Karena itu Pemkab harus mengajukan izin dulu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bupati Kelapa

Komitmen Bupati Inhil, HM Wardan, terhadap kelapa di wilayahnya memang sudah tidak diragukan lagi. “Semua akan saya lakukan agar petani kelapa di Indragiri Hilir sejahtera, karena saya juga anak petani,” janjinya.

Sejumlah peraturan daerah yang dapat menjamin kedaulatan kelapa memang telah dibuat. Misalnya, Peraturan Daerah (Perda) Tata Niaga Kelapa, Perda Resi Gudang, dan Perda BUMDes untuk menunjang Perda Tata Niaga Kelapa. Pada 2019 disahkan pula perda tentang penetapan pakaian Melayu dan tanjak dari kelapa pada tiap Jumat bagi pegawai.

Bupati Wardan menyadari kehidupan penduduk Inhil sangat bergantung pada kelapa. Karena itu, menurut dia, di sini kelapa disebut sebagai “pohon kehidupan”.

Betapa tidak, dari akar sampai pucuk daun pohon kelapa semuanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Daun kelapa, misalnya, untuk atap rumah, bahan kulit ketupat, janur, dan sapu lidi.
Dari buahnya ada air kelapa yang sangat bermanfaat sebagai pengganti ion tubuh. Daging kelapa muda untuk pelepas dahaga. Kelapa tua untuk minyak dan sebagainya.

“Produksi dari buah kelapa ini banyak," ungkap Wardan yang bangga disebut 'bupati kelapa'. Selain santan juga ada minyak kelapa murni (VCO), nata de coco, Kara, Dydor Coco, gula, dan sebagainya.

Sedangkan tempurungnya bisa dijadikan karbon, briket, dan keperluan lain. Batangnya untuk bahan bangunan dan perabotan. Sabutnya bisa dijadikan cocofiber (serat sabut kelapa) dan limbahnya sebagai cocopeat (serbuk sabut kelapa). Cocofiber memiliki pasar yang cukup baik di Cina. Sedangkan cocopeat dibutuhkan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk media tanam pembibitan akasia dan eukaliptus.

Wajar jika Wardan memiliki impian besar terhadap   kelapa. Impian tersebut, ungkapnya, akan diwujudkan dengan membangun museum kelapa, mendirikan politeknik perkebunan kelapa, dan mencanangkan gerakan satu rumah satu produk kelapa, serta agrowisata kelapa. Semuanya bermuara untuk kesejahteraan masyarakat Inhil  dengan tagline “Kelapa Menjulang  Masyarakat Gemilang”.

Potensi kelapa memang cukup besar dari Negeri Seribu Parit ini. Sayang, belum semuanya bisa digarap menjadi bisnis yang menggiurkan. Beberapa tahun lalu, misalnya, di kabupaten ini telah berdiri sebuah industri pengolahan sabut kelapa. Sayangnya, tak sempat berumur panjang. Padahal, potensi sabutnya maha besar. Sedih melihatnya, karena sabut terbuang sia-sia jadi onggokan sampah.

Padahal, tak jauh di seberang, di sebuah pulau kecil yang bersebelahan dengan PT Pulau Sambu di Sungai Guntung, sudah ada satu contoh keberhasilan pengolahan sabut kelapa. Pada 2010-an di sini sudah berdiri kilang sabut kelapa yang dipelopori seorang mantan wartawan di Tanjungpinang bernama Ady Indra Pawennari. Ia bekerjasama dengan seorang pengusaha terkemuka di Kepri. Produksi cocofibernya telah diekspor ke Cina dalam jumlah yang banyak. Sedangkan cocopeat dijual ke perusahaan HTI di Riau. "Masih terus berproduksi, Bang," kata Ady saat dihubungi jelang Ramadhan lalu.

Jadi mengapa tidak bisa dikembangkan di bagian darat Kabupaten Inhil? Dalam sebuah survei kecil yang pernah dilakukan, faktor penghambat utamanya adalah masalah  transportasi. Di Tembilahan dan  Pekanbaru tidak ada pelabuhan kontainer untuk ekspor. Sehingga pengapalan ke luarnegeri harus dari Belawan, Sumatera Utara.

Namun, jika pengusaha di Inhil jeli, sebenarnya industri sabut kelapa tetap bisa dijalankan. Targetnya bukan cocofiber, melainkan cocofeat. Serbuk sabut kelapa ini, meskipun harganya lebih murah, tapi laris manis di perusahaan HTI. Dua HTI di Riau hingga kini membeli cocofeat dari Asahan, Sumatera Utara, dan Lampung. Serat cocofiber sendiri tahan disimpan sampai puluhan tahun dan bisa dijual sedikit-sedikit ke Jakarta/Jawa.

Belajar ke Asahan

Untuk itu, sebaiknya pemerintah, pengusaha, dan masyarakat Inhil mengadakan studi banding mengenai kelapa ke Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Kendati hanya memiliki kebun kelapa seluas 23.474 hektare, namun hampir seluruh proses produksi kelapa sudah dilakukan di sana.

Kelapa yang sudah dipanen dikupas sabutnya. Kelapa lalu diserahkan kepada kaum ibu di sekitarnya untuk dikoncet atau dipisahkan dari batok. Kelapa putih tanpa batok ini diekspor ke Malaysia yang jaraknya hanya beberapa jam naik kapal kecil.

Batok kelapa yang masih ada sisa kelapanya dibawa ke kilang pres. Di sini sisa kelapa dicungkil dari batok lalu dimasukkan ke mesin pres sampai menjadi minyak.  Batok lalu diambil pedagang pengumpul untuk dijadikan briket arang dan keperluan lainnya.

Tanaman kelapa baru menggantikan yang sudah tumbang

 

Sedangkan sabut kelapa dibeli kilang pengolahan sabut dari masyarakat lalu diolah menjadi cocofiber dan cocofeat. Untuk satu keranjang rotan besar yang biasanya dipakai di kebun sawit, anak-anak pengumpul sabut diberi Rp 10.000.

Sebelum Covid 19 cocofiber laris manis dijual ke Cina. "Kita baru mau produksi agennya sudah ngasih DP sampai Rp 20 juta," kata H M Tambunan, seorang pengelola kilang sabut di Desa Umbut-umbut, Kisaran. Ini sebagai pertanda serat sabut kelapa sangat dibutuhkan.

Setiap bulan mereka bisa menghasilkan 30 ton cocofiber. Harga jualnya Rp 2.500 per kilogram. Sedangkan cocopeat yang sebenarnya hanya limbah bisa laku Rp 15.000 sekarung ukuran 80 kilogram.

Menurut Jasman, pengelola kilang sabut di Air Joman (dekat kampung halaman Ustad Abdul Somad di Desa Sei Silau, Asahan), saat ini ekspor ke Cina masih terhenti. Tapi mereka tetap menggiling sabut untuk diambil cocopeatnya. Sedangkan cocofibernya disimpan dulu. Ada satu HTI di Porsea, dan dua HTI di Riau yang rutin menampung cocopeat mereka.

Setakat ini, tambah Jasman, ada delapan kilang sabut kelapa yang masih tetap beroperasi. Mereka berebutan mencari bahan baku sabut dari kebun kelapa di sana yang cuma seluas 23 ribu hektare. Namun kapasitas produksi tetap terpenuhi. Memang terkadang terpaksa harus mendatangkan sabut dari Aceh dan kawasan sekitar. Ironis jika dibandingkan  dengan sabut kelapa di Inhil yang maha banyaknya. Tapi hingga kini masih terbuang jadi sampah. (irwan e. siregar)