Pelanggaran UU kehutanan, adalah Masalah Administratif Bukan Korupsi

Jumat, 03 Februari 2023

JAKARTA - Pelanggaran Undang-Undang (UU) Kehutanan, tidak bisa serta merta dikategorikan tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Profesor I Gde Pantja Astawa pakar hukum administrasi negara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menyatakan, penyelesaian keterlanjuran membangun perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tidak bisa menggunakan UU Tipikor, tetapi harus menggunakan UU Cipta Kerja dan turunan UU Cipta Kerja.

"Adanya UUCK dibuat untuk menyederhakan 79 UU yang saling berbenturan. Sehingga memudahkan perizinan serta menghilangkan kerisauan pengusaha untuk berusaha di Indonesia," kata Pantja di Pengadilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Menurut Pantja, adanya pelanggaran UUKehutanan yang dituduhkan kepada Duta Palma akibat terjadi tumpang tindih aturan ketentuan Kehutanan dengan Tata Ruang Wilayah yang diatur dalam Peraturan Daerah. Akibatnya pengurusan izinnya menjadi terhalang sejak tahun 2012.

"Karena terjadi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administrative,” katanya.

Menurut Pantja, keputusan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin lokasi untuk penyediaan lahan perkebunan  tetap berlaku. Sebab tidak ada pencabutan ataupun perbaikan, dan bukan termasuk perbuatan pidana. Keputusan kepala daerah sifatnya kongkrit dan mengikat karena bersumber dari Perda RTRW Provinsi.

"Tidak semua tindakan adalah tindakan pidana, tidak bisa serta merta dikategorikan melanggar pasal tindak pidana korupsi sebagaimana bunyi pasal 14 UU Tipikor," tegas Pantja.

Pantja menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif. Karena apa, setiap perizinan yang sudah terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu 3 tahun untuk membenahi memenuhi syarat-syarat agar mempunyai hak atas tanah  HGU.

"Berlakunya UU Cipta Kerja ini, sebetulnya tidak ada lagi permasalahan bagi Duta Palma. Karena sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," jelasnya.

Bahkan, menurut Pantja, keterangan saksi dari KLHK sudah dengan tegas menyatakan tidak boleh ada proses hukum, karena permasalahan Duta Palma sudah masuk di dalam SK Menteri Kehutanan Nomor SK.351/Menhut-II/2021 dan sudah menunggu proses oleh KLHK.

"Di mana Duta Palma harus menyelesaikannya dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, karena lahannya masuk kawasan hutan. Sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," tegasnya.

Hal yang sama disampaikan Dr Chairul Huda ahli hukum pidana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta. Menurutnya, pada pasal 2 unsur melawan hukum tidak bisa berdiri sendiri haruslah dibuktikan adanya kerugian negara dan perekonomian negara.

“Pasal ini bisa dikenakan kepada seseorang jika ditemukan dugaan perbuatan pidana dalam pengelolaan administrasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Jika berkaitan dengan pelanggaran UU kehutanan, maka bukan masuk kategori UU Tipikor,” kata Huda.

Selain itu, lanjut Huda, untuk pelanggaran administrasi dan perizinan yang bertanggung jawab haruslah korporasi dan pengurusnya. Bukan pemegang saham sebab ia tidak ikut campur dalam kegiatan teknis perusahaan.

Kemudian, lanjutnya, Pasal 3, tidak bisa dikenakan pada mereka yang tidak punya jabatan. Adanya pemberian pengaruh dan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh pejabat negara.

“Sebab tidak mungkin terjadi perbuatan melawan hukum bagi mereka yang tidak punya jabatan atau wewenang,” katanya.

Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH mengatakan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi, yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan. Jika ada permasalahan Izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.

"Hal tersebut diatur dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal  110A. Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi perinanan bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun. Jika setelah itu, baru dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulis, Jumat, (3/2/22).

Menurut Sadino, pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak ada Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.

“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan perkebunan, seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana, karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi," ujar Sadino.

Menurut Sadino, penegakan hukum bagi yang sudah mempunyai hak atas tanah dengan yang baru memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan juga berbeda. Bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan adalah tidak tepat, dan yang tepat adalah "Kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit" sesuai kaidah dan norma hukum sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/ 2011.

“Putusan MK telah merubah kewenangan Menteri Kehutanan agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak tahun 2012, Pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final. Jika pengukuhan kawasan hutan mengabaikan Putusan MK, maka pengukuhan pun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi Menteri malah melanggar hak konstitusional warga negara,” jelasnya.

Memang penyelesaian ini telah diatur dalam Pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harus menuju kesana, karena hanya menekankan persyaratan izin lokasi dan/atau Izin Usaha Perkebunan. Tapi pada tahap implementasi dijalankan tidak sesuai dengan semangat dan tujuan UUCK dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Dia menjelaskan, dalam menjalankan UUCK tentunya klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam system usaha di Indonesia.  Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.

Jika produk hukum yang diberikan oleh negara seperti Hak Atas Tanah tidak dilindungi, maka akan terjadi sengketa hukum di pengadilan antara rakyat dengan penguasa yang membuat tidak terlindunginya investasi. Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan maupun sengketa hukum administrasi.

“Penyelesaian pemenuhan perizinan adalah bagi yang belum lengkap izinnya, jika kebun sawit yang sudah diberikan Hak Atas Tanah diperlakukan sama dengan izin tentu tidak benar dan melanggar hak konstitusi warga negara," jelasnya.

Dalam hukum administrasi, lanjunya, dikenal adanya asas hukum Presumtio Iustae Causa yang bermakna ‘setiap Putusan tata usaha negara adalah sah sampai ada putusan pengadilan atau pejabat yang berwenang membatalkannya’.

“Tentu SK penunjukan kawasan hutan, termasuk SK penetapan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Menteri tidak serta merta menghilangkan hak atas tanah," tegas Sadino.  

Pelaksanaan penegakan hukum dan penyelesaian kebun sawit seperti di Riau sudah seharusnya mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan asas-asas hukum dalam hukum administrasi terkait Hak Atas Tanah dan perizinan. Kalau Hak Atas Tanah dan izin yang diberikan sudah sesuai dengan tata ruang, maka istilah yang tepat digunakan adalah "penyelesaian kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit".

“Dengan demikian penyelesaian kebun sawit dalam UUCK ada 2 jenis yaitu: 1. Penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan, dan 2. Penyelesaian Kawasan hutan dalam kebun sawit.,” katanya.(lin)