Bawa Dampak Negatif, Pemerintah Diminta Segera Cabut Larangan Ekspor CPO

Jumat, 13 Mei 2022

JAKARTA – 3 juta petani kelapa sawit dan pelaku usaha perkelapasawitan keluhkan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng. Bahkan kebijakan ini juga membawa dampak negatif berganda, terhadap kinerja makro ekonomi Indonesia dan  penurunan devisa ekspor sehingga bisa menjadi faktor yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
 
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan, pemerintah harus secepatnya mencabut larangan ekspor CPO. Karena kebijakan tersebut lebih banyak membawa dampak negatif, alih-alih bisa menjadi strategi pengendali harga minyak goreng. “Kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik. Segera cabut larangan tersebut, bila perlu pekan ini,” kata Bhima.

Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit. Rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor membuat harga TBS tertekan. Bahkan, sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani karena tanki-tanki penyimpanan CPO yang mulai penuh.

Dari pantauan di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu. Di Sumatra Selatan, harga TBS petani turun sekitar Rp 500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp 1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 2.900 per kilogram. Penurunan harga TBS juga terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya seperti Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Kebijakan larangan ekspor ini tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku,” kata Bhima.

Selain membawa dampak negatif kepada petani kelapa sawit, kinerja makro ekonomi Indonesia juga terancam. Tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai USD 35 miliar atau lebih dari Rp 500 triliun dan sawit menjadi komditas penyumbang devisa ekspor terbesar. Selain dari devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan bagi kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor. Penurunan pendapatan ekspor minyak sawit ini tentu berpotensi menekan surplus neraca perdagangan dan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

“Dengan harga CPO di pasar internasional yang sangat tinggi sementara di pasar domestik rendah akibat kelebihan pasokan, akan memicunya terjadinya penyelundupan. Ini akan membuat dinamika industri minyak sawit nasional semakin rumit dan runyam,” kata Bhima.(*)