Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan, Prinsip Ultimum Remedium Satu-satunya Jalan

Selasa, 13 Juli 2021

Rino Aprino

JAKARTA,– Pemerintah dalam hal ini kementerian terkait diminta lebih kencang dalam menyelesaikan keterlanjuran kebun sawit petani yang ada di dalam kawasan hutan sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan turunannya. Selain itu, perlu pemahaman tegas dan jelas bahwa UUCK Nomor 11/2020 mengedepankan pengenaan sanksi administratif (Ultimum Remedium) sehingga terhadap kegiatan perkebunan yang telah terbangun sebelum berlakunya UUCK tidak dikenakan sanksi pidana, unsur pemahaman ini menjadi penting melalui sosialisasi ke seluruh Indonesia.

Pembahasan ultimum remidum tersebut muncul dalam diskusi webinar DPW APKASINDO (Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Riau dan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit) Riau yang bertemakan “Sosialisasi Regulasi UUCK/Turunannya & Cegah Karhutla”, Senin (12 Juli 2021) yang menghadirkan pembicara  Kombes Pol Dr. Endang Usman, SH., MH. (Kabidkum Polda Riau), Dzakiyul Fikri, SH., MH. (Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Riau), Dr. Ir. Mamud Murod, MH. (Kepala Dinas LHK Riau), Sofyan, S.Hut,M.Si, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX, Dr. Sadino,S.H.,MH. (Akademisi dan Praktisi Hukum Kebijakan Kehutanan), Samuel Hutasoit, SH., MH.,C.L.A (Dewan Pakar Hukum DPP APKASINDO), serta Eddy Nofiandy,SH.,MH. (Ketua Kompartemen Hukum dan Advokasi GAPKI Riau), acara ini langsung di Pandu oleh Sekjend Apkasindo, Rino Afrino, ST., MM.,C.APO. Hadir juga pada acara tersebut Ketua DPW APKASINDO Riau, KH Suher dan Ketua GAPKI Riau, Djatmiko K. Santosa. Acara sosialisasi ini secara resmi dibuka oleh Dewan Pembina& Penasehat DPP APKASINO, yang diwakili oleh Kiai T.Rusli Ahmad.

Mamun Murod menguraikan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, bahwa luas kawasan hutan di Riau mencapai 5,38 juta hektare pada 2020.  Dari jumlah ini luasan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 1,89 juta hektare (35%).

“Ini berarti proporsi sawit dalam kawasan hutan cukup besar dan Riau harus bersyukur dengan disyahkannya UUCK dan turunannya ini, berarti semua sudah ada solusinya masing-masing dan itu semua secara rinci diatur dalam turunan UUCK tersebut, yaitu Ultimum Remedium, ujar Mamun Murod, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

Senada dengan itu, Sofyan selaku Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX menjelaskan dalam presentasinya bahwa Ketentuan Pasal 110A dan Pasal 110B dilaksanakan terhadap kegiatan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang  Cipta Kerja.

Ia mengatakan UU Cipta Kerja memang mengutamakan ultimum remedium (tidak ada pidana) untuk menyelesaikan masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan. Upaya penyelesaian persoalan ini dilakukan melalui PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini mengatur mekanisme penyelesaian kebun yang telah terbangun dalam Kawasan hutan sebelum UU Cipta Kerja terbit sebagaimana diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110 B UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H jo UU Cipta Kerja, “ya kita harus memandang permasalahan hutan dengan regulasi saat ini, jangan mengulang-ngulang dengan regulasi yang lama”,  ujarnya.

Bagi Pekebun sawit yang kebunnya berada di kawasan hutan sebelum UUCK terbit dan memiliki izin seperti Izin Lokasi, IUP, dan STD-B, maka sesuai ketentuan Pasal 110A kepada Pekebun tersebut akan diberikan kesempatan selama 3 (tiga) tahun sejak UUCK terbit untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kemudian apabila persyaratan telah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka terhadap kebun yang ada di Kawasan hutan produksi akan diterbitkan Persetujuan Pelepasan Kawasan hutan, sedangkan terhadap kebun yang ada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi akan diberikan kesempatan melanjutkan usaha selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam, itu clear.

Selain itu terhadap pekebun yang kebunnya telah terbangun sebelum terbitnya ketentuan teknis STDB tahun 2018, Mamud Murod dan Sofyan menyatakan Tim Verifikasi akan melakukan pengecekan dan verifikasi terlebih dahulu. Jika memang kebun tersebut telah terbangun namun tidak memiliki STDB karena ketentuan teknis STDB baru ada tahun 2018, maka penyelesaiannya tetap menggunakan mekanisme yang diatur dalam Pasal 110A tersebut, tidak ada masalah, semua ada solusinya sebagaimana diatur dalam UUCK tersebut, ungkap pejabat Kehutanan ini dengan tegas.

Jika terdapat tumpang tindih kebun sawit dengan Perizinan Pemanfaatan Hutan, maka akan diteliti mana yang lebih dahulu terbit. Jika Perizinan Pemanfaatan Hutan lebih dulu terbit maka kebun sawit akan dikurangi luasnya dan sisanya dilakukan Kerjasama Kemitraan dengan Perusahaan Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan selama 1 daur. Demikian pula sebaliknya.

Sementara itu bagi Pekebun sawit yang tidak punya perizinan dan kebunnya telah terbangun sebelum UU Cipta Kerja terbit (sebelum November 2020) maka setelah membayar denda administratif, terhadap kebun yang ada di Kawasan Hutan Produksi akan diterbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan selama 25 tahun sejak masa tanam, ujar Sofyan.

Lebih lanjut Sofyan menjelaskan, UUCK juga mengecualikan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 ha, dibebaskan dari sanksi pidana atau sanksi administratif, karena akan diselesaikan melalui program Penataan Kawasan Hutan, maka itu saya sampaikan selamat kepada Petani sawit dengan lahir nya UUCK ini dan kita semua harus move on dengan UUCK ini.

Dr. Sadino, SH., MH, Praktisi Hukum Kebijakan Kehutanan, mengapreasiasi niatan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kebun sawit petani di dalam kawasan hutan. Memang sebagai regulasi, ini merupakan prosedur biasa, namun ia juga menanyakan apakah jangka waktu 3 tahun yang diberikan dalam UU Cipta Kerja cukup untuk menyelesaikan persoalan keterlanjuran ini?. “Sekarang ini sudah berjalan 8 bulan setelah terbitnya UU Cipta Kerja.

Kondisinya belum banyak perubahan atau hampir tidak ada. Makanya, target selesai dalam tiga tahun saya tidak yakin. Karena itu, harus kita pahami bahwa tidaklah mudah untuk mengurus  proses pelepasan, persetujuan, dan melanjutkan kegiatan sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan turunannya,” ujarnya.

Apalagi kata Sadino, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisis IV DPR terungkap fakta bahwa anggaran untuk kegiatan pengukuhan kawasan hutan itu belum dialokasikan. Tanpa pendanaan, maka sangat sulit mencapai target 3 tahun. Pun demikian, saya menyarankan supaya KLHK dan isntansi terkait supaya menggandeng stakeholder sawit lainnya istilahnya percepatan, seperti DPP APKASINDO yang sudah terlebih dahulu menginventarisasi anggotanya yang terlanjur dalam Kawasan hutan bisa dikerjasamakan untuk percepatan implementasi regulasi terkait UUCK, apalagi APKASINDO sudah cukup canggih peralatannya dan ahli-ahli pemetaannya, ini patut kita apresiasi APKASINDO sebagai organisasi petani terbesar di dunia.

“Di Riau, ada kesalahan dalam data Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) karena menyamakan Hutan Produksi Konversi dengan Area Penggunaan Lain. Alhasil, banyak areal yang dianggap sebagai kawasan hutan di Riau, padahal tidak demikian,” ujarnya Sadino.

Selain itu, kata Sadino, kebijakan satu peta juga belum terselesaikan. Lalu, bagaimana mendefinisikan hak masyarakat ini. Apa dasarnya? Disinilah perlu penekanan ultimum remedium karena terjadi kekacauan luar biasa di system administrasi kehutanan masa lalu dan itu bukan rahasia lagi.

Eddy Nofiandy, Ketua Kompartemen Hukum dan Advokasi GAPKI Riau, mengusulkan upaya untuk menyelesaikan dan menghindari terjadinya konflik agraria, mutlak diperlukan kebijakan dan aturan yang terkoordinasi, terintegrasi dan tersinkronisasi antara sistem tata guna lahan, kehutanan dan tata ruang di tingkat pemerintah pusat (yang melibatkan kementerian terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan pemerintah daerah dan stakeholder sawit lainnya seperti organisasi sawit.

Sama dengan pendapat narasumber lainnya, Eddy pesimis 3 tahun bisa semua melengkapi dokumennya, oleh karena itu  “Upaya lain penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan perlu dikombinasikan dengan pengampunan atas tanah atau amnesti tanah (land amnesty) yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan waktu dan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini,” kata Eddy.  

Kombes Pol Dr Endang Usman SH MH, Kabidkum Polda Riau, mewakili Kapolda Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi, SH., SIK.,M.Si , menjelaskan bahwa kepatuhan masyarakat sangat penting memahami dan menjalankan hukum yang sudah dibuat sedemikian rupa dan semua sudah bersolusi. Adanya UUCK diharapkan menjadi terobosan hukum untuk penyelesaian masalah di sektor kehutanan dan tidak ada pidana, semua mengedepankan Ultimum Remedium,”. Namun demikian bukan tidak mungkin muncul pidana lain. Bisa saja, seperti unsur kebakaran lahan, pemalsuan surat tanah atau unsur lainnya, tambahnya.

“Kami harapkan semua pihak tanpa kecuali patuh dan jalankan kesempatan dari regulasi ini, ini cukup bagus untuk kepastian hukum. Polda Riau menghimbau untuk sama-sama dalam menjaga iklim usaha, berjalan terkhusus disaat masa pandemic ini semua pihak harus saling bahu membahu, termasuk pencegahan karhutla,” jelas Endang Usman.

Endang Usman juga menjawab pertanyaan dari peserta yang menanyakan mengapa aparat kepolisian masih melakukan penyidikan terhadap pekebun yang kebunnya masuk kategori keterlanjuran sebagaimana dimaksud dalam UUCK. Ia menjelaskan, “masyarakat tidak perlu khawatir dengan pemanggilan sebab penyidik yang menerima laporan dari masyarakat perlu melakukan klarifikasi terhadap pekebun”.

Meskipun demikian, Ia juga menegaskan “Polda Riau akan segera mensosialisasikan UU Cipta Kerja yang mengusung kebijakan terobosan ultimum remidium (tidak dipidanakan) ini ke seluruh jajaran Polda Riau sampai ke Polres”, agar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah di undangkan, tegas Endang Usman.

Dzakiyul Fikri, SH., MH, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, mewakili Kajati Riau, Dr. Jaja Subagja, SH., MH, menjelaskan dengan terbitnya UUCK, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non ligitasi dalam penyelesaian kawasan hutan.

“Tentu saja, UUCK ini sifatnya wajib bagi semua pihak, tanpa kecuali. Ini semua untuk membantu kebun petani sawit khususnya, yang terlanjur berkebun sawit dalam Kawasan hutan, tidak ada yang salah setelah lahirnya UUCK,” harapnya.

Terpisah, Samuel Hutasoit, SH.,MH.,C.L.A Dewan Pakar DPP APKASINDO bidang hukum dan advokasi, menanggapi pernyataan para narasumber : “statemen Pak Kadis LHK, Perwakilan Kajati, Perwakilan Kapolda dan Kepala BPKH XIX dalam acara tersebut, sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para Pekebun yang tidak memiliki STDB tetap berkesempatan menyelesaikan persoalan keterlanjuran tersebut dengan menggunakan mekanisme Pasal 110A”. Ini menunjukkan solusi tidak hanya mengedepankan bukti formil semata yaitu terkait ada tidaknya STDB, sebab pembuktian secara materil dengan melakukan verifikasi di lapangan secara faktual juga menjadi variabel untuk menentukan penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110A. Dengan pemahaman demikian, diharapkan para pekebun yang tidak memiliki STDB dapat menyelesaikan permasalahan klaim Kawasan hutan tanpa perlu membayar Denda Administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 110A.

Kepada para petani sawit di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP APKASINDO, untuk sesegera mungkin mengambil kesempatan di regulasi ini, ukur dan petakan kebun sawitnya yang terlanjur dalam Kawasan hutan, lalu hubungi tim percepatan paduserasi UUCK DPP APKASINDO untuk segera di verifikasi oleh Tim Paduserasi APKASINDO, ujar Samuel.(rls)