Corona itu Ada, Nyata, dan Berbahaya

Senin, 01 Februari 2021

SAYA bagikan pengalaman saya bersama istri yang lebih dua pekan berperanag melawan covid-19. Semoga ada pelajaran, hikmah, dan sharing pengalaman dari kami saat berjibaku melawan serangan virus ini sehingga teman-teman lebih berhati-hati karena corona itu nyata adanya.

“Gak usah wedhi, covid iku koyok flu biasa. Mengko ilang dewe.” (Tidak usah takut, covid itu seperti flu biasa. Nanti juga sembuh sendiri)

Demikian bunyi pesan WA dari salah satu teman saya saat mendengar kabar saya dan istri positif covid-19, berdasarkan hasil swab antigen dan PCR, (16/1) lalu. Hari itu,  ratusan pesan japri WA, IG, Telegram, dan Inbox FB masuk menanyakan kabar yang sama. Ada yang menyemangati, ada yang mendoakan, dan banyak juga yang tidak percaya.

Tak bisa saya balas saat itu, karena saya dan istri hanya bisa panik, lemas, dan kaget. Kami bertatapan dan akhirnya berpelukan, toh sama-sama positif jadi tidak perlu jaga jarak lagi. Tak ada kata-kata, hanya sama-sama merasa terpukul. “Kita lewati semuanya berdua Ma, inshaAllah bisa,” kata saya menenangkan istri. Alhamdulillah-nya, kedua anak saya negatif.

Saya baca lagi pesan WA teman seperti yang saya tulis di atas tadi. Saat itu menenangkan, tapi sekarang saya tahu bahwa itu sama sekali tidak benar. Jika teman tadi bisa mengatakan bahwa ini seperti flu biasa, mungkin karena dia belum pernah mengalami saja dan semoga tidak pernah mengalami. Tetapi bagi kita yang pernah positif covid-19, pasti setuju dengan saya bahwa covid bukan flu biasa, berbeda dari flu biasa. Virus corona itu ada, nyata, dan berbahaya.

Bacalah pengalaman sahabat saya Ustad Agus Mustofa, penulis buku-buku tasawuf modern, betapa beliau berjuang antara hidup dan mati melawan virus ini. Tiga pekan lalu, sahabat saya yang lain Alfian Mujani, founder koran Radar Bogor dan Jurnal Bogor, wafat karena covid-19. Guru kami Pak Bos Dahlan Iskan, dalam waktu yang bersamaan Januari ini, juga dinyatakan positif covid-19 meski OTG dan Alhamdulillah saat ini beliau sudah negatif. Dan akhirnya saya sendiri dan istri juga positif covid-19.

Yang kami alami tidak seberat yang dialami Ustad Agus Mustofa, namun bagi kami yang positif dan bergejala,  itu sudah berat. Kami menjalani isolasi mandiri di rumah, ditangani seorang dokter senior yang cukup berpengalaman menangani pasien covid, dan menjalani pengobatan medis selama isolasi. Alhamdulillah, setelah dua pekan, hasil swab antigen kami dinyatakan negatif. Meski demikian, dokter tetap meminta kami tidak banyak beraktivitas sampai kondisi benar-benar pulih.

“Kena di mana Mas?” Pertanyaan ini yang paling banyak saya terima dari teman-teman. Andaikan saya tahu, pasti saya bagikan di sini. Tetapi bagaimana kami yang sebetulnya sudah sangat ketat menjaga protokol kesehatan covid-19, membatasi pertemuan dengan orang, tidak keluar kota, dan juga tidak pernah hadir dalam kerumunan bisa terpapar covid? Gejala apa yang kami rasakan? Bagaimana proses pengambilan keputusan hingga kami menjalani isolasi mandiri di rumah instead di rumah sakit, pun pengobatan dan terapi apa yang kami jalani? Akan saya kisahkan dalam tulisan berikutnya. Salam sehat teman-teman semua. (Bersambung) ([email protected])