Stok Terbatas, Harga CPO Tinggi hingga Q2 2021

Jumat, 04 Desember 2020

JAKARTA – Analis komoditas dari LMC International Ltd Inggris, James Fry, memperkirakan harga CPO (minyak sawit mentah) akan tetap tinggi hingga kuartal kedua tahun 2021.  Dampak La Nina dan pemeliharaan kebun yang tidak optimal sejak pandemik covid-19 akan mempengaruhi produksi tandan buah segar (TBS) di perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia.

“Tahun ini kinerja produksi minyak sawit rendah, bukan karena dampak musim kemarau panjang satu atau dua tahun sebelummya saja.  Tetapi juga karena pemeliharaan kebun yang kurang baik akibat penggunaan pupuk berkualitas rendah beberapa tahun lalu,” kata James Fry saat menjadi pembicara dalam IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) 2020 New Normal, Kamis (3/12).

Perkiraan akan dampak Covid-19 di tahun 2020 terhadap industri kelapa sawit tidak sesuai. Padahal, Sepanjang tahun 2020 berbagai industri terkontraksi sebagai dampak pandemi. Hal ini disampaikan Analis LMC Internasional Dr. James Fry pada Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 yang dilakukan secara virtual pada Rabu, 3 Desember 2020.

Fry mengatakan, secara umum kinerja industri sawit cukup baik sepanjang pandemik covid-19.  Meskipun mengalami penurunan volume ekspor akibat penerapan lockdown di beberapa negara tujuan, termasuk dua pasar utama yaitu Tiongkok dan India, memasuki kuartal ketiga tahun 2020, tren permintaan ekspor sawit berangsur pulih.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur ISTA Mielke GmbH Thomas Mielke menjelaskan perubahan pasokan dan permintaan minyak sawit dan minyak kedelai menentukan faktor fundamental yang menentukan harga minyak nabati. Tahun 2020, minyak sawit memegang pangsa 32% dari total produksi minyak nabati dunia, sementara minyak kedelai sebesar 25%.

“Mengejutkan, harga minyak sawit dan sebagian minyak nabati lainnya mencapai harga tertinggi dalam kurun enam tahun terakhir yakni di bulan November,” jelas  Mielke.

 Mielke mengatakan, produksi minyak sawit lebih rendah dari ekspektasi, hal ini terjadi terutama dari bulan Juli sampai September 2020. Produksi minyak sawit dunia turun hampir di atas 8 juta ton, terutama di Indonesia.

Sementara itu, analis komoditas dari Godrej International Dorab Mistry mengatakan produksi minyak sawit Indonesia tahun 2020 juga hanya 1 juta ton lebih tinggi dibandingkan 2019. Rendahnya suplai ini menyebabkan tingginya harga minyak sawit di pasar global.

“Proyeksi tahun 2021 kami perkirakan produksi 20 juta dari Malaysia dan 50 juta dari Indonesia, atau secara global produksi minyak sawit meningkat total 4 juta ton dibandingkan tahun 2020,” kata Dorab.

Dorab Mistry mengungkapkan permintaan pasar akan kembali normal seiring dengan pemulihan ekonomi yang terjadi paska Covid-19 terutama di negara Tiongkok dan India pada tahun 2021.

Beralih ke pasar Amerika Serikat, Managing Director CollisiAgra Emily French menambahkan bahwa permintaan minyak nabati Amerika Serikat akan sangat dipengaruhi kebijakan yang ramah lingkungan di bawah pemerintahan Joe Biden.

Prospek Harga
Di bulan-bulan terakhir 2020, harga minyak sawit meroket tinggi bahkan menjadi harga tertinggi yang dimiliki minyak sawit 6 tahun terakhir. James Fry memperkirakan harga minyak sawit terhadap Brent akan tetap tinggi hingga kuartal kedua 2021 yang disebabkan masih rendahnya stok minyak sawit.

Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain menurut James Fry, industri minyak sawit akan bersaing dengan minyak kedelai terutama untuk pasar India. Ia mengingatkan bahwa di awal tahun 2020, salah satu hambatan pada peningkatan permintaan minyak sawit ialah harga minyak bunga matahari yang sama dengan minyak sawit. Sehingga persaingan harga ini patut untuk diwaspadai.

Thomas Mielke memproyeksikan perbedaan harga minyak sawit terhadap minyak kedelai akan sangat tipis hingga Maret 2021. Faktor bearish lainnya pada kinerja sawit 2021 ialah kebijakan reverse di Tiongkok yang diprediksikan akan beralih pada konsumsi minyak kedelai domestik jika harga minyak sawit sedang Bullish.

Lebih lanjut, Mielke menyatakan kebijakan Levy pemerintah Indonesia, menjadi salah satu faktor penentu harga di pasar global. Melalui levy, strategi self financing program mandatori Biodiesel sangat berpengaruh terhadap keuntungan produsen di Indonesia.

"Dengan harga yang baru saja meningkat hingga 880 USD/mt pada cif Rotterdam, bukan tidak mungkin harga sawit bisa mencapai 1000 USD/mt di tahun 2021 yang mendorong program biodiesel akan tetap bertahan di tahun 2021” ujar Thomas Mielke.

Senada dengan Mielke, menurut Dorab program biodiesel akan berjalan di 2021 jika kenaikan levy senantiasa disesuaikan dengan harga pasar.  Dorab juga mengamini peran kritikal levy terhadap penentuan harga pasar serta permintaan global.  Dorab Mistry memperkirakan harga minyak Brent di tahun 2021 akan meningkat dari 35 USD/barel menjadi 50 USD/barel. Namun Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa terlalu tingginya harga hanya akan berdampak buruk terhadap permintaan pasar. (lin)