Lapsus Edisi Cetak : Reshuffle Kabinet, Copot Menteri Siti

Kamis, 26 Oktober 2017

Masuk bulan Oktober, rumor reshuffle kabinet kembali bergulir. Isi gerbong Kabinet Jokowi itu bakal dirombak untuk diisi penumpang baru. Diindikasikan ada lima menteri yang bakal diganti, diantaranya Menteri KLHK Siti Nurbaya. Menteri-menteri yang bakal diganti itu sudah berulangkali disentil Presiden Jokowi. Mereka dinilai kinerjanya tidak inovatif dan hanya berdasar ‘proyek’. Selain ada yang menimbulkan ‘kegaduhan’. Untuk itu perlu dicari figur yang loyal dan sejalan, agar di ‘tahun penting’ 2019 kinerja mereka benar-benar sudah terukur. Selain karena alasan kinerja, juga terdapat beberapa menteri yang berencana mengundurkan diri. Mereka maju di Pilkada 2018, yang untuk sementara ini dilakukan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa untuk L-1 (Gubernur Jawa Timur), dan Menteri Koperasi Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga untuk Pilkada Bali. Rumor reshuffle ini sebenarnya sudah merebak di bulan Juli lalu. Namun jika kemudian mencair dan hilang dari kelesak-kelesik, itu karena memang sudah diduga jauh-jauh hari, bahwa beberapa menteri sudah berancang-ancang mundur untuk bertarung di Pilkada daerah masing-masing. “Sebab terasa tidak elok kalau habis reshuffle kemudian ada lagi menteri yang harus diganti karena mengundurkan diri untuk bertarung di Pilkada,” kata sumber Sawitplus.com di lingkaran istana mengomentari batalnya reshuffle kabinet di bulan Juli lalu itu. Dan mengapa di bulan Oktober ini hampir dipastikan bakal terjadi perombakan kabinet? Sumber Sawitplus.com menyebut, bahwa ada dua alasan pergantian pembantu presiden itu harus direalisasi. Pertama karena bulan ini merupakan bulan pendaftaran Pilkada bagi mereka yang akan bertarung di Pilkada tahun 2018. Dan untuk itu setidaknya ada dua menteri yang bakal mengundurkan diri dari Kabinet Jokowi, yaitu Mensos Khofifah dan Menteri Koperasi Puspayoga. Dan kedua adalah untuk memuluskan langkah dalam pertarunganya di Pilihan Presiden tahun 2019, Presiden Jokowi akan memaksimalkan para pembantunya. Mereka harus loyalis yang diharap bakal memberikan kontribusi besar saat dibutuhkan. Juga para menteri itu yang sejalan dengan program-program yang dicanangkan presiden. Berdasar kebutuhan itu, maka gerbong kabinet Jokowi dipastikan bakal dirombak bulan ini. Apalagi banyak menteri yang berjalan sendiri-sendiri, kurang bisa menjalankan keinginan Presiden Jokowi, dan terdapat juga menteri yang dianggap ‘mbalelo’. Menteri yang lebih patuh pada partainya ketimbang presiden yang mengangkatnya sebagai pembantunya. Siapakah mereka? Selain nama Ignatius Jonan, Menteri ESDM, Menristekdikti M Nasir dan Mendikbud Muhadjir Effendy, juga ada nama Rini Soemarno, Menteri BUMN serta  Menteri LHK Siti Nurbaya. Kelima menteri ini dianggap pembantu presiden yang tidak ‘memenuhi kelayakan’ sebagai pembantu presiden.  
Di antara sekian menteri yang bakal diganti itu, yang paling kentara adalah kinerja Siti Nurbaya, Menteri LHK. Dia ambigu. Itu karena terlalu ‘menyimpang’ jauh dari keinginan dan tujuan Presiden Jokowi.   Kebijakannya terkesan tidak nasionalis dan lebih sebagai representasi asing ketimbang untuk rakyat negeri ini, utamanya dalam PP Gambut yang diterbitkan kementeriannya. PP ini tidak cuma akan mengosongi kantong rakyat, tetapi juga membuatnya jadi pengangguran dan mengundang kemarahan, amuk massa. Sebab jika itu urusan perut, maka tak ada yang bisa mengendalikannya selain membuat perut rakyat kembali terisi. Dan kebijakan itu menerbitkan ironi ketika Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Pertanian ramai-ramai melakukan diplomasi ke berbagai negara untuk menghapus kampanye hitam terhadap sawit. Bersama para Duta Besar Indonesia di Eropa, Amerika, Asia dan Afrika secara patriotis mengkampanyekan kelebihan sawit, justru itu dianggap negasi oleh institusi pemerintah di dalam negeri sendiri. Tidak salah jika banyak yang menjuluki kementerian LHK ini sebagai ‘sarang LSM’. LSM yang anti sawit. Padahal sawit memberi kontribusi negara Rp 200 triliun. Dan itu dalam bentuk devisa. Dan akibat kebijakan Kementerian LHK ini, tak salah pula jika banyak yang bingung melihat arah kebijakan pemerintah. Satu negara, satu presiden, tapi kebijakannya kok beda-beda. Ambivalen. Djoko Su’ud Sukahar