Pemerintah Diminta Benahi Perizinan Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan, Jangan Sampai Rugikan Petani

Rabu, 22 Juli 2020

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk membenahi kembali tata kelola perizinan perkebunan sawit. Ini dilakukan untuk mencegah konflik lahan dan menghindarkan pertentangan kewenangan dan tumpang tindih kebijakan yang merugikan para petani perkebunan sawit.

Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim, mengungkapkan, saat ini masih banyak persoalan kompleks yang sampai saat ini menjadi penghambat industri sawit. Salah satunya lahan perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan.

Berdasarkan data yang ada di Direktorat Jenderal Perkebunan menyebutkan, sebanyak 2,5 juta hektare lahan sawit berada dalam kawasan hutan. "(Seluas) 800 ribu hektare kebun dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta hektare dikuasai oleh masyarakat. Intinya, sawit dalam kawasan hutan memang benar adanya," jelas Hifdzil, dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Juli 2020.

"Keberadaan sawit dalam kawasan hutan menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam. Misalnya, tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan di sekitarnya yang belum jelas. Selain itu, banyak konflik lahan yang terjadi dalam kawasan hutan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan," ujarnya. 

Menurut dia, konflik agraria masih menghantui pengelolaan lahan sawit di berbagai lokasi. Setidaknya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 410 konflik agraria dalam kurun waktu 2018. Konflik yang sering terjadi adalah benturan antara masyarakat dan perusahaan.

Hifdzil mengatakan, konflik yang terjadi pada lahan kelapa sawit akan berdampak buruk pada persepsi pasar internasional dan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang kontra untuk melawan kelapa sawit. Pada Maret 2019 misalnya, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan produk minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia dikeluarkan dari sumber energi terbarukan.

"Uni Eropa mengadopsi Delegated Act dan menganggap produk sawit Indonesia berasal dari kegiatan deforestasi kawasan hutan, pelanggaran HAM, serta pengerusakan lingkungan lain. Keputusan tersebut tentu berdampak pada serapan hasil sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dari sektor perkebunan," kata dosen hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga ini.

Hifdzil pun mendesak pemerintah segera mengimplementasikan regulasi yang dapat menyeimbangkan antara hak sosial budaya, ekonomi, lingkungan. Pasalnya, ada sebanyak 2,74 juta kepala keluarga menggantungkan mata pencahariannya dari sektor perkebunan sawit.

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan sawit ialah kesenjangan produksi yang dikelola petani (3,1 ton per hektare/tahun), sawit dikelola negara (3,8 ton per hektare/tahun) dan swasta (3,9 ton per hektar/tahun).

"Perbandingkan itu bukti bahwa rakyat petani kelapa sawit tidak hanya menghadapi permasalahan sengketa lahan, tetapi juga legalitas usaha, serta produktivitas sawit cukup rendah. Belum lagi ketika hasil sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) dijual di pasaran, petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Kondisi diperparah dengan program subsidi biodiesel yang hanya menguntungkan pengusaha. Rakyat petani kelapa sawit semakin terjepit," jelasnya. 

Dalam mengelelola perkebunan sawit di Indonesia, Hifdzil menjadikan perangkat regulasi yang ada sebagai instrumen hukum dan kebijakan menyelesaikan masalah lahan sawit dalam kawasan hutan. Dalam catatan HICON, ada beberapa perangkat regulasi di antaranya Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Kemudian, Inpres Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024; dan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Perangkat regulasi ini dapat diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Tujuannya, melindungi kepentingan rakyat yang berprofesi sebagai petani kelapa sawit.

"Namun, pada tataran implementasi terdapat beberapa catatan, seperti mekanisme penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang diatur oleh Perpres Nomor 88 Tahun 2017 kurang menyeimbangkan antara hak sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Kedua, Inpres Nomor 8 Tahun 2018 masih berkutat pada tataran koordinasi dan kurangnya fokus pemerintah daerah untuk menjalankan amanah Inpres tersebut. Ketiga, Inpres No. 6/2019 serta Perpres 44/2020 yang masih terkendala legalitas lahan," jelas Hifdzil.*