PSR Nasional Anugrah Bagi Petani Riau

Selasa, 23 Juni 2020

PEKANBARU - Duit Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang digelontorkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) makin menggiurkan. Apalagi sejak 1 Juni 2020 meningkat menjadi Rp30 juta untuk setiap hektar lahan pekebun yang bakal diremajakan dengan maksimun 4 ha/KK, yang sebelumnya Rp25 juta per hektar.


Dana ini bersifat bantuan, bukan pinjaman. Jika rata-rata pembangunan kebun dari awal (P0) sampai P3 (menjelang Panen) totalnya adalah Rp55 juta/ha, maka kekurangannya akan dipinjam dari Bank Mitra dengan pola KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang bunganya cukup rendah yaitu 6%/tahun, karena pemerintah sesungguhnya mensubsidi Bunga KUR tersebut.

Hanya saja, bertambahnya duit bantuan tadi justru kian memancing para kontraktor berbondong-bondong untuk mencicipi duit itu.
Beragam cara dilakukan biar pekebun mau menjalin kerjasama dengan si kontraktor. Celakanya, kerjasama yang dibikin ternyata hanya sebatas pada persiapan lahan tanaman baru tadi (P-0), bukan hingga tanaman menjelang menghasilkan (P-3).

Maklum, duit tersebut yang kelihatan hanya cukup untuk P0 alias persiapan lahan tanaman baru itu. Kalau kontrak hingga P3 alias tanaman sudah  menghasilkan, duit tambahannya belum jelas. Sebab untuk 'mengawal' lahan dari P-0 hingga P-3, yang membutuhkan waktu sekitar 3,3 Tahun dibutuhkan duit sekitar Rp55 juta per hektar.
Ini berarti pekebun musti merangkai kata permohonan pinjaman duit dulu ke bank yang mau memberikan pinjaman melalui Program KUR (kredit usaha rakyat).

Kenyataan inilah yang belakangan membikin Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) Ir Gulat Manurung, MP C APO, galau,"Jujur saya khawatir dengan teman-teman Petani PSR menjadi terseret ke ranah hukum akibat keluguan mereka, sebab uang yang digunakan untuk PSR ini adalah uang negara (PNBP) yang harus dipertanggungjawabkan dan di audit oleh BPK." jelasnya.

Katanya lagi, kalau kontraktor hanya mau di persiapan lahan tanaman baru (P0) setelah itu ditinggal, inilah yang membikin PSR berantakan, khususnya terhadap PSR di level pekebun swadaya. "Petani sawit harus mensyukuri kebijakan bantuan PSR ini, namun harus diikuti dengan keberhasilan,"ujar Gulat kepada wartawan Selasa (23/6).

Permohonan PSR saat ini sudah sangat sederhana. Dimana sebelumnya ada 14 Prosedur yang sangat memberatkan Petani, namun saat ini hanya tinggal 2 persyaratan saja, yaitu pertama surat kepemilikan tanah (SKGR, SKT atau sejenis) dan kedua Petani tersebut harus berkelompok (kelompok tania atau koperasi). Jadi jika kedua persyaratan ini sudah lengkap, maka segera hubungi Dinas Perkebunan setempat. Kalau APKASINDO hanya pada batas mensosialisasikan saja, admin tetap di Disbun.

"Kami Prihatin masih sangat minimnya minat Petani Swadaya (Petani Kampung) untuk ikut PSR ini, makanya DPP APKASINDO membentuk Tim Percepatan PSR Nasional di 22 DPW Provinsi Perwakilan APKASINDO dan kemudian menyebar di 117 DPD Kab/Kota APKASINDO seluruh Indonesia.
Lelaki 47 tahun ini kemudian mengurai bahwa proses PSR itu ada tiga pola." tuturnya.

Masih menurut Gulat, pola pertama adalah swadaya. Semua dikerjakan sendiri. Biasanya ini dilakukan oleh pekebun yang swadaya atau mandiri. Pola kedua yaitu pola yang sebagian dikerjakan oleh kontraktor, sebagian lagi oleh Petani dan yang ketiga yaitu Pola Kemitraan, biasanya pola ketiga ini diadopsi oleh model Kemitraan Inti-Plasma, dimana pembangunan kebun 100 persen dikerjakan oleh Inti (Mitra).

"Nah di pola Pertama dan kedua inilah PSR sangat berpotensi menjadi berantakan. Dari hasil survey, 78% Petani PSR memilih Pola yang ke kedua, mitra atau kontraktor hanya mengerjakan P0, selanjutnya P1 hingga P3 dikerjakan sendiri oleh pekebun PSR," ujar Gulat yang juga berprofesi sebagai Auditor ISPO.
         
Pertanyaan yang kemudian muncul kata Gulat, semampu apa petani swadaya merawat pohon kelapa sawit yang baru ditanam itu hingga kelak berbuah?
 
Masih menurut Gulat, itu masih pertanyaan soal kemampuan pekebun. Kalau kita tanya lagi apakah pinjaman dari bank untuk menambahi kekurangan bantuan BPDPKS tersebut sudah dapat, jawabannya belum tentu. Kalau pinjaman enggak dapat, maka PSR dipastikan gagal.

"Sebab sudahlah petani tidak punya ilmu yang mumpuni untuk merawat tanaman hibrid, modal untuk itu enggak ada pula. P1-P3 akan hancur jika, dana pinjaman tak cair, atau dana pinjaman cair tapi pekebun enggak paham duit itu mau dikemanakan dan tataurutan perawatan kebun tidak pernah diikuti berdasarkan timescedule," ujarnya.

Berharap pada dinas atau bidang perkebunan setempat untuk mengatasi itu kata Gulat, nyaris tidak mungkin karena keterbatasan tenaga. Jika mengharapkan tenaga  pendamping  PSR yang di SK kan oleh Dinas Perkebunan setempat juga sangat kecil kemungkinan karena banyak faktor.  
 
Bagi Gulat, bibit kelapa sawit yang baru ditanam sama seperti balita yang rawan terhadap apapun.
"Bisa saja bibit mati dan harus disisip. Lalu serangan hama penyakit. Lantaran ini replanting, bekas tebangan akan jadi 'inang' bagi kemunculan hama dan penyakit. Begitu juga dengan gulma. Di lahan replanting, gulma bakal lebih cepat tumbuh, makanya harus ada kacangan yang terawat. Kalau tidak terawat, kacangan ini sama saja dengan gulma. Apakah petani swadaya mampu untuk ini?" Gulat bertanya.

Mantan Rektor Instiper Yogyakarta, Dr Ir Purwadi MS mengamini apa yang dikatakan Gulat. Bibit kelapa sawit yang ditanam adalah bibit unggul. "Bibit unggul diciptakan respon dengan sarana produksi. Kalau bibit unggul ini tidak diberi perlakuan standar, akan hilang keunggulannya," katanya.

Lantaran itu kata Gulat, rekanan yang terlibat di PSR harus mau meneken kontrak kerja dari P0 sampai P3. "Supaya petani terkawal dan rekanan bertanggungjawab atas suksesnya program PSR itu sampai jelang panen. Untuk itulah dibutuhkan rekanan yang punya kemampuan dan pengalaman manajemen kebun yang mumpuni, jangan tiba-tiba menjadi kontraktor PSR yang selama ini hanya mengerjakan galian kabel bawah tanah.

"Jadi sangat dibutuhkan Standart Acuan Rekanan (SAR), biar lebih tertib dan terukur. Jadi rekanan kontraktor PSR harus sepaket dari P0-P3. Selain itu kontraktor juga harus memberdayakan Tenaga Kerja dari Petani Peserta PSR (Padat Karya), sehingga kekosongan pemasukan Petani selama P0-P3 (sekitar 3,3 tahun) bisa tercukupi dari hasil kerja di kebun PSR (Harian).
Semua pembiayaan terkait P0-P3, sudah ada standarnya kok, tinggal menjalankan saja," ujarnya.
 
Jika SAR dibuat oleh Dirjend Perkebunan secara tegas, maka kejadian kisruh di beberapa lokasi PSR tidak seharusnya terjadi, seperti di Kabupaten Tebo, Jambi, atau di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, atau seperti yang di Kalimantan Timur, yang 100% lokasi PSR tersebut adalah Petani Swadaya yang memilih Pola Kedua.

Perihal tenaga Pendamping yang hampir disemua lokasi PSR kekurangan tenaga pendamping profesional, sebaiknya Dirjend Perkebunan dan BPDPKS segera mengambil kebijakan strategis memberdayakan anak-anak Petani dan Buruh Tani yang  di Beasiswa kan oleh BPDPKS untuk kuliah di 5 Perguruan Tinggi terbaik dibidang Sawit yang saat ini alumninya sudah mencapai 1.200 Alumni. Dasar mereka dibeasiswakan adalah untuk menjadi Petani sawit mileneal Generasi ke tiga, sebagai pengganti generasi kedua yang saat ini sedang melaksanakan PSR.(ist)