Penghormatan Terbaik untuk Sahabat Terbaik

Jumat, 01 Mei 2020

Kita tidak tahu akan mengakhiri tugas di dunia ini kapan, di mana, dan dengan cara apa. Tapi Tuhan menakdirkan sahabat kita semua Mas Djoko Djoko Su'ud Sukahar wafat pada hari yang banyak diyakini sangat baik. Hari Jumat, tepatnya 8 Ramadhan Ramadhan 1441 H atau bertepatan tanggal 1 Mei 2020, 45 menit setelah kumandang Ashar. Mas Djoko wafat karena sakit dan setelah sepekan dirawat intensif karena penyakit diabetes yang sudah cukup lama, sekitar 15 tahun, diderita.

Mas Djoko Suud baru saja menjalani amputasi kaki kiri karena infeksi yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Meski sempat tidak sadar saat dibawa ke ICU RSAL dr Ramelan Surabaya, operasi berjalan lancar. Kemarin Mas Djoko sadar dan sempat berkomunikasi dengan putranya. Bahkan rencananya hari ini akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Namun, karena batuk berdahak yang sangat hebat, Mas Djoko tadi pagi harus menjalani rapid test covid-19. Hasilnya: Mas Djoko positif covid-19. Dan pagi hari langsung dibawa ke unit perawatan khusus covid-19 di rumah sakit yang sama. Sore hari Mas Djoko kritis dan putra beliau Gusti Syarif Auliah Tirtayasa mengirimkan pesan kepada saya “Om Bapak meninggal, jam 16.15.” Innalilahi waina ilaihi rojiun.

Saya percaya hanya kebaikan sajalah yang akan membawa manusia kepada akhir kehidupan yang baik. Dan inshaAllah membawa manusia kepada kehidupan abadi yang juga baik (fidunya khasanah, wafil akhiroti khasanah). Dan di depan mata saya sendiri, saya menyaksikan orang-orang biasa dan bersahaja, menutup tugas kekhalifahan-nya di dunia dengan baik.

Djoko Suud Sukahar memang bukan siapa-siapa. Hanya seorang wartawan yang sempat menjadi penjaga gawang SIWO PWI (klub olahraga teman-teman wartawan) yang mendedikasikan dan mengabdikan dirinya kepada dua profesi: kewartawanan dan kebudayaan. Menjadi wartawan, bagi Djoko Suud, bukanlah sebuah pekerjaan tetapi adalah way of life (cara hidup) untuk menjaga marwah, integritas, komitmen, dan dedikasinya kepada satu hal: kebenaran.

Meski mengenal Mas Djoko Suud sejak kami sama-sama di Grup Jawa Pos, tapi menjadi akrab saat kami sama-sama pindah ke Jakarta tahun 2009. Mas Djoko Suud menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Agrofarm dan saya menjadi praktisi komunikasi di industri sawit. Klop kami pun bekerja sama. Mas Djoko membantu saya dalam menjembatani komunikasi dengan teman-teman media khususnya di wilayah Sumatra. Karena Mas Djoko pernah menjadi pimpro pengembangan koran Pos Metro (Grup Jawa Pos) di berbagai wilayah di Sumatra seperti Medan dan Batam. Sejak itu kami dekat dan semakin mengenal semakin Mas Djoko adalah sosok yang sangat tulus dalam berteman.

“Lakukan saja yang terbaik, wis mlaku wae (sudah jalan saja), nanti akan ketemu jalannya. Yang kami lakukan sudah tepat, jangan menoleh ke belakang,” kata Mas Djoko dalam sebuah kesempatan di Nusa Dua Bali.

Mas Djoko saya ajak keliling kebun sawit di seluruh Indonesia. Masuk kebun perusahaan, juga berkenalan dengan petani. Karena sikapnya yang rendah hati dan senang memberikan nasihat dengan pengetahuan tentang filsafat Jawa yang mendalam, banyak yang kemudian cepat akrab. Termasuk eksekutif perusahaan, petani sawir, dan teman-teman wartawan di desk pertanian. Mas Djoko menjadi “suhu” yang kehadirannya disambut dan nasihat-nasihatnya selalu dinanti.

Mas Djoko tidak mau menjadi apa-apa, tidak mau meraih apa-apa. Dia hanya mau mengalir, menikmati lelakon hidupnya, dan menikmati perannya sebagai guru bagi siapa saja. Meskipun memiliki privilege untuk bisa menulis kolom politik di media besar seperti Detikcom dan Harian Rakyat Merdeka, namun Djoko Suud tak ingin. menjadikan itu sebagai capaian untuk membusungkan dada. Mas Djoko biasa saja. Mau menulis, mau tidak menulis, dia tidak mengikuti kemauan siapa pun. Dia hanya mengikuti kemauan hati nuraninya.

Mas Djoko Suud sudah setahun terakhir banyak di Surabaya setelah ada infeksi di kaki kirinya karena diabetes. Oktober lalu, ditemani Cak Andy Setyawan teman pengurus PWI Jatim, kami bersama teman-teman wartawan berkumpul di Bali pada sebuah kegiatan konferensi sawit internasional. Januari lalu saya juga mengajak beberapa kolega ke kediaman Mas Djoko Suud di Griya Kebraron Surabaya. Sekadar menjenguk. Masih segar dan penuh semangat.

Pekan lalu, hari pertama Ramadhan, Mas Djoko kembali masuk RS, bahkan dalam kondisi tidak sadar. Tidak banyak yang bisa saya lakukan di tengan pandemik covid-19 sekarang. Namun mengingat apa yang Mas Djoko tunjukkan kepada saya akan arti penting ketulusan hati dalam berteman, membuat saya bertekad memberikan yang terbaik membantu yang bisa dibantu untuk Mas Djoko dalam situasi yang sulit saat ini. Saya bersyukur dan berterima kasih karena banyak teman yang peduli, pasti karena semua mengenal Mas Djoko sebagai seorang yang baik dan tulus, termasuk saat tadi pagi Mas Djoko dinyatakan positif covid-19. Banyak teman serentak membantu mengkomunikasikan kondisi Mas Djoko kepada Satgas Covid-19 Jatim sehingga bisa ditangani dengan cepat dan baik. Namun, Allah SWT telah memilih Mas Djoko untuk datang pada hari dan bulan yang sangat dimuliakan.

Secangkir kopi pahit dan rokok filter tak akan lagi menemani kami saat diskusi berdua tentang apa saja. Tentang Tuhan, pekerjaan hingga soal wanita. Tidak ada lagi. Dan saya kehilangan seorang sahabat terbaik yang memang layak mendapatkan penghormatan terbaik. Selamat jalan Mas Djoko Suud Sukahar. ([email protected])

Jakarta, 1 Mei 2020