Rupiah Perkasa ke Rp16.310 per Dolar AS

Selasa, 31 Maret 2020

Ilustrasi rupiah dan dolar AS. (Int)

JAKARTA - Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp16.310 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Selasa (31/3/2020) sore. Posisi tersebut menguat 0,17 persen dibandingkan perdagangan Senin (30/3/2020) sore di level Rp16.337 per dolar AS.

Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp16.367 per dolar AS atau melemah dibandingkan posisi kemarin yakni Rp16.336 per dolar AS.

Sore ini, mayoritas mata uang di kawasan Asia terpantau menguat terhadap dolar AS. Tercatat won Korea menguat 0,50 persen, peso Filipina bertambah 0,48 persen, dolar Hong Kong menguat 0,02 persen, ringgit Malaysia menguat 0,28 persen, dan yuan China menguat 0,28 persen terhadap dolar AS.

Sementara itu, sejumlah mata uang lainnya keok di hadapan dolar AS. Baht Thailand melemah 0,69 persen, yen Jepang turun 0,58 persen, dan dolar Singapura melemah 0,06 persen terhadap dolar AS. Sedangkan dolar Taiwan terpantau stagnan.

Kemudian di negara maju, mayoritas nilai tukar bergerak melemah terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris melemah sebesar 0,50 persen, diikuti dolar Kanada yang juga melemah 0,21 persen, dan dolar Australia turun 0,47 persen terhadap dolar AS.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan penguatan rupiah salah satunya ditopang upaya penemuan vaksin virus corona oleh AS. Diketahui, pemerintah AS menggelontorkan dana sebesar US$421 miliar untuk membantu Johnson & Johnson membangun fasilitas produksi baru yang membutuhkan investasi US$1 miliar. Uang tersebut diambil dari stimulus jumbo AS senilai US$2,2 triliun.

"Fasilitas itu ditargetkan mampu memproduksi vaksin virus corona sebanyak 1 miliar dosis," ujarnya.

Selain itu, ekonomi China mulai bangkit. Biro Statistik Nasional China melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur periode Maret sebesar 52. Angka itu melonjak drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 35,7, sekaligus menjadi catatan terbaik sejak September 2017.

Ibrahim menyatakan lonjakan PMI menunjukkan industri manufaktur China sudah bangkit setelah dihantam virus corona. PMI menggambarkan pembelian bahan baku atau penolong dan barang modal yang digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang.

"Input sudah meningkat, dan akan menjadi peningkatan output," ujarnya.  (*)