Kemudahan Berusaha Kehutanan di RUU Cipta Kerja Tak Sejalan Dengan Lingkungan

Rabu, 26 Februari 2020

Kawasan hutan. (Int)

JAKARTA - Sejumlah poin-poin dalam omnibus law cipta kerja bidang kehutanan menuai sejumlah kritik dari berbagai pihak.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah dinilai bukan solusi atas permasalahan yang terjadi bidang kehutanan.

Seperti diketahui, pemerintah melalui beleid sapu jagat itu akan memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor kehutanan. Salah satunya dengan cara mengubah dan menghapus substansi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan).

Deputi Direktur bidang Pengembangan Program, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Isna Fatimah mengatakan, terdapat beberapa pasal yang patut disoroti pada penghapusan atau perubahan pasal tersebut.

Pertama, perubahan terhadap Pasal 35 UU Kehutanan. Yakni iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kerja diubah menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bidang kehutanan. Pada awalnya, setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Akan tetapi dalam draf RUU cipta kerja diubah menjadi setiap pemegang izin usaha hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

"Ini membuat semakin tidak jelas berapa dana yang diperuntukan untuk reboisasi dan dana pemulihan areal bila terjadi kerusakan," kata Isna, Rabu (26/2/2020).

Kedua, perubahan pasal 49. Sebelumnya, pasal ini menyatakan Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Akan tetapi dalam beleid RUU cipta kerja, diubah menjadi pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.

Isna mengatakan, perubahan pasal ini justru berpotensi membuat penegakan hukum kebakaran hutan di area konsesi perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang terjadi di areal konsesi perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan.

"Lalu kalau kementerian lingkungan hidup dan kehutanan ingin menggugat, menggugat siapa?," ujar dia.

Ketiga, perubahan pasal 19. Pasal ini menyebutkan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pasal sebelumnya menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Ini menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama pemerintah," ungkap dia.

Keempat, perubahan pasal 18. Pasal ini menyebutkan, Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Akan tetapi pasal ini diubah menjadi "Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.

Isna mengatakan, perubahan ini justru berpotensi semakin membuat kerusakan lingkungan. Sebab, syarat minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja telah terjadi kerusakan. Apalagi jika syarat minimal itu tidak ada batasan pastinya dan hanya ditentukan pemerintah pusat.

"Padahal jika nanti terjadi kerusakan, yang pertama kali merasakan masyarakat setempat, pemerintah daerah yang disalahkan pertama kali oleh masyarakat," jelas dia.

Kelima, perubahan pasal 15. Pasal ini diubah dimana salah satu poinnya menyatakan bahwa penyelesaian tumpang tindih kawasan hutan diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Isna menyatakan, seharusnya pemerintah mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mendengarkan penjelasan masing-masing pihak sebelum menyelesaikan permasalahan. Bukan serta merta membuat peraturan presiden untuk melakukan penyelesaian.

Keenam, perubahan pasal 77. Perubahan pasal ini berpotensi membuat proses hukum bidang kehutanan semakin lama. Pasalnya kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, berada dibawah pengawasan penyidik kepolisian.

Padahal, kata Isna, untuk melakukan penyidikan bidang kehutanan diperlukan kemampuan dan keahlian khusus. Menurut Isna, saat ini yang menjadi permasalahan adalah belum optimalnya koordinasi antara kepolisian dan kementerian/lembaga terkait.

ICEL mendorong pemerintah dan DPR dapat mereview kembali isi pasal-pasal UU Kehutanan yang akan diubah atau dihapus. ICEL meminta jangan sampai perubahan atau penghapusan itu menjadi kemudahan berusaha yang mengorbankan kelestarian alam dan lingkungan. (*)