Solusi Tepat Atasi Legalitas Lahan Sawit Rakyat

Sabtu, 04 Januari 2020

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia yang dihasilkan oleh perkebunan sawit rakyat (PR) seluas 5,18 juta hektare sangat signifikan. PR yang terdiri dari petani swadaya dan plasma memegang proporsi produksi CPO sebesar 35 persen atau sekitar 16,8 juta ton dari total produksi nasional yang diperkirakan mencapai 48,16 juta ton pada tahun 2019.

Saat ini, pekebun sawit rakyat tumbuh subur di daerah pedesaan khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan dengan bercirikan kepemilikan lahan yang sempit yakni kurang dari 4 ha/KK. Namun sangat disayangkan, petani sawit swadaya masih harus berhadapan dengan sejumlah isu dan permasalahan mendasar seperti legalitas lahan, produktivitas sawit yang rendah, serta kesulitan akses sumber pendanaan.

Berdasarkan data indikatif, sekitar 29 persen lahan sawit rakyat telah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan 40 persen lainnya belum memiliki SHM, dan diduga 31 persen sekitar 1,7 juta hektare lahan PR berada di kawasan hutan. 

Pemetaan lahan perkebunan sawit sekaligus pendataan kondisi sosial ekonomi petani swadaya perlu dilakukan sebagai langkah penting dalam rangka perbaikan kondisi perkebunan rakyat. 

Badan Informasi Geospasial Indonesia bersama Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Pemprov, Pemkab/Pemkot, dan Pelaku Usaha di bawah naungan Inpres Nomor 6 Tahun 2019 tentang RAN-PKSB menjadikan pemetaan partisipatif sebagai salah satu solusi dalam menuntaskan kejelasan lokasi lahan sehingga dapat menjadi awal untuk pembenahan aspek legalitas lahan dalam kelompok petani.

Pemetaan partisipatif bermakna kegiatan pembuatan peta secara mandiri oleh masyarakat (termasuk pekebun kelapa sawit swadaya) atau menempatkan pekebun sebagai sentral dalam semua tahapan kegiatannya mulai dari tahap pra-kondisi, persiapan, pelaksanaan, hingga penyajian dan pengelolaan peta.

Beberapa manfaat yang akan dirasakan oleh aktor kegiatan pemetaan partisipatif setelah legalitas lahan tercapai di antaranya, penyaluran program pemerintah seperti subsidi pupuk, benih, dan peremajaan perkebunan lebih tepat sasaran, akses pekebun terhadap fasilitas pendanaan, sarana, dan prasarana dari lembaga terkait akan lebih mudah, serta dapat menjadi sarana dialog antara petani dengan pemerintah daerah terkait pengelolaan sumber daya alam, pelestarian budaya lokal, dan pemanfaatan aset desa/kelompok di daerah tersebut. (*)