Eh, Ada Kamasutra Melayu di Pulau Penyengat

Kamis, 05 Oktober 2017

Di masa kejayaan Kerajaan Melayu Lingga Riau, Pulau Penyengat merupakan gudang ilmuwan. Berbagai bidang mereka mumpuni, mulai dari sastra, agama, pemerintahan, budaya, dan lain-lain. Belasan cendekiawan yang berasal dari pohon keluarga yang sama menulis beragam naskah kuno dalam huruf Arab-Melayu. Gurindam Duabelas, karya Raja Ali Haji mendapat tempat tersendiri karena dianggap sebagai karya sastra terbesar pada masanya. Ratusan karya lawas dari Penyengat itu masih bisa dilihat hingga kini. Tapi, tidak sedikit pula yang sudah beralih tangan, bahkan melintasi batas negara. Di kantor Yayasan Kebudayaan Indrasakti di Pulau Penyengat, tak kurang dari 350 naskah kuno yang berhasil diselamatkan. “Sisanya tersebar di Singapura dan Malaysia,” kata Raja Malik Hafrizal, salah seorang ahli waris Kerajaan Melayu Lingga Riau. Sebagian tampak sudah kusam, tersimpan di lemari kantor ini. Naskah kuno warisan Kerajaan Melayu Lingga Riau ini tak melulu bicara masalah agama, sosial maupun pemerintahan. Buku tentang hubungan intim suami isteri sesuai ajaran Islam dan budaya Melayu juga terselip di antara warisan ini. Ada sekira sepuluh naskah kuno yang membahas seks warga dan keluarga kerajaan. Buku semacam Kamasutera yang diberi tajuk Cempaka Putih ini tidak hanya berisi ulasan, tapi juga ilustrasi teknik-teknik bersenggama. Kitab beraksara Arab-Melayu ini ditulis Raja Abdullah yang biasa dipanggil Abu Muhammad Adnan pada akhir abad ke-19. Dia adalah putra dari Raja Ali Haji, penulis Gurindam Duabelas sekaligus bapak bahasa Indonesia dan pahlawan nasional. Pembahasan dalam kitab setebal 150 halaman ini tergolong erotis, tapi tidak vulgar. Kehidupan seksual masyarakat Melayu dan para raja dibahas secara menarik dan menggelitik. “Mungkin ini yang disebut yang nikmat tanpa harus berdosa,” katanya. Sesuai ajaran Islam yang melandasi penulisan buku ini, Cempaka Putih tidak hanya membahas masalah teknik dan gaya bersenggama, tapi juga doa-doa sebelum hubungan intim dimulai. Dari penjelasan buku ini tergambar jelas bahwa Abu Muhammad Adnan ini menekankan pentingnya kehidupan seks yang benar sesuai ajaran Islam, sejalan dengan tradisi Melayu, dan bisa menjadi pondasi membangun keluarga sakinah. Karena itu, erotisme dalam kitab ini dikemas dengan cara yang mendidik. . “Sekitar ada sepuluh naskah tentang tema yang sama,” katanya. Selain Abu Muhammad Adnan, kitab sejenis juga ditulis oleh penulis lain. Salah satunya adalah Khatijah Terung, isteri Abu Muhammad Adnan. Khatijah menulis Kumpulan Gunawan, naskah tentang hubungan intim yang dilihat dari sudut pandang perempuan. Selain dilengkapi tulisan, buku 197 halaman ini juga memuat ilustrasi dan foto tentang berbagai teknik hubungan suami isteri. Karya Khatijah kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Tujuh, tujuh gerakan yang biasa diperagakan perempuan dalam berhubungan intim. Naskah-naskah kuno ini merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya karena berisi sejarah, budaya, politik, sastra, dan pelbagai tema dalam kehidupan masyarakat Melayu. Naskah-naskah ini telah menjadi rujukan penting dalam penelitian tentang masyarakat Melayu, baik yang berada di Riau, Kepulauan Riau, Malaysia, hingga Singapura. Tidak mengherankan jika ratusan naskah kuno Melayu ini menjadi buruan para kolektor dari negara-negara tersebut. Mereka juga memburu naskah sejenis hingga Tanjungpinang dan Kabupaten Lingga. Selain naskah kuno tulisan tangan, Penyengat juga dikenal memiliki tradisi penulisan mushaf Al Quran. Warisan ini masih dapat dilihat di bagian depan Masjid Raya Penyengat sebagai bukti penulisan mushaf yang sudah berlangsung sejak tiga abad silam. Bukan hanya menulis ulang mushaf, sebagian mushaf justru dilengkapi dengan syarah (penjelasan) tentang ayat Al Quran yang ditempatkan di salah satu sisi halaman Al Quran. Nilai historis naskah kuno Melayu ini sangat menarik bagi kolektor. Karena itu mereka tidak segan menawarkan harga yang sangat tinggi kepada pemilik naskah. “Saya pernah dibujuk untuk menjual naskah kuno Melayu,” kata Malik Hafrizal. Harga setiap naskah tentu tidak sama karena bergantung pada isi dan nilai sejarahnya. Konon, harga satu naskah Melayu kuno ada yang mencapai ratusan juta rupiah. Malik mengatakan, Pulau Penyengat akan menjadi lebih baik jika pemerintah lebih serius dalam menjaga dan merawat naskah-naskah kuno Melayu ini. “Jadi tidak hanya merawat bangunannya saja,” katanya. Bagaimana pun juga naskah-naskah kuno merupakan catatan sejarah yang tidak bisa dibantah karena merupakan catatan atas apa yang terjadi di masa lalu. TM/jss