Penurunan Produksi Karet Menekan Efisiensi Biaya Produksi Industri

Rabu, 06 November 2019

Perkebunan karet. (Int)

JAKARTA - Industri karet dan plastik merupakan industri yang cukup penting bagi pertumbuhan domestik bruto (PDB) dalam negeri. Pada tahun 2018 misalnya, kedua industri tercatat menyumbang sebanyak Rp92,6 triliun, tumbuh 3,15 persen dibanding tahun sebelumnya.

Sayangnya, industri plastik dan karet dalam negeri agaknya tengah sedikit terhambat pergerakannya lantaran tantangan-tantangan yang tengah dihadapi di dalam negeri. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan bahwa pelaku industri karet dalam negeri tengah mengalami permasalahan efisiensi lantaran tingkat utilisasi yang tidak optimal.

Menurut keterangan Moenardji, kapasitas terpasang industri crumb rubber atau karet remahan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun dengan tingkat utilisasi sekitar 60 persen. Namun demikian, tingkat utilisasi tersebut berpotensi mengalami penurunan hingga sebesar 50 persen lantaran adanya potensi penurunan produksi di tingkat hulu pada tahun 2019.

Sejalan dengan prediksi tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) memang memproyeksikan angka produksi karet hanya akan mencapai sebesar 3,30 juta ton di sepanjang tahun 2019. Padahal, realisasi produksi karet di tahun sebelumnya mencapai 3,63 juta ton. Artinya, angka produksi karet berpotensi mengalami penurunan sekitar 9,05 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) apabila dihitung-hitung.

Penurunan diduga diakibatkan oleh adanya serangan cendawan Pestalotiopsis pada tanaman karet. Per 17 September 2019 lalu, Ditjen Perkebunan Kementan mencatat sudah terdapat sekitar 387.178,33 hektare atau sekitar 10,58 persen dari 3,65 juta hektare lahan karet yang terjangkit serangan.

Moenardji menilai penurunan produksi di tingkat hulu akan membuat utilisasi produksi menjadi rendah. Sementara itu, utilisasi produksi yang rendah mendorong kegiatan produksi menjadi tidak efisien sehingga berimbas kepada biaya produksi yang tinggi. Hal ini pada gilirannya akan menekan kesehatan perusahaan dari pelaku industri karet.

"Biaya ongkos olah yang mahal tidak bisa ditutup harga jual, karena harga jual ditentukan oleh harga di tingkat internasional," jelas Moenardji. (*)