Utang Jatuh Tempo BPJS Kesehatan Rp21,16 Triliun

Rabu, 06 November 2019

BPJS Kesehatan. (Int)

JAKARTA - Hingga 31 Oktober 2019, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mencatat terdapat utang yang sudah jatuh tempo sebesar Rp21,16 triliun.

"Kita sudah utang jatuh tempo Rp21,1 triliun. Inilah yang kami sampaikan pada rapat terakhir 2 September. Kalau kita tidak melakukan langkah konkret, di akhir tahun kita akan defisit Rp32 triliun," ujar  Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, Rabu (6/11/2019).

Utang jatuh tempo ini artinya ketika BPJS Kesehatan belum melakukan pembayaran klaim selama 15 hari sejak verifikasi klaim dilakukan. Sebelum verifikasi dilakukan, proses pengajuan klaim dari faskes pun dilakukan selama 10 hari. Fachmi menerangkan, untuk setiap keterlambatan membayar, pihaknya harus membayar denda kepada rumah sakit sebesar 1 persen setiap bulannya.

Tak hanya utang jatuh tempo, BPJS Kesehatan pun memiliki outstanding claim (OSC) sebesar Rp2,76 triliun, dimana ini merupakan klaim yang telah ditagihkan ke BPJS Kesehatan dan dalam proses verifikasi. Kemudian, utang yang belum jatuh tempo sebesar Rp1,71 triliun.

Berdasarkan proyeksi defisit cashflow dana jaminan sosial 2019, diperkirakan gagal bayar BPJS Kesehatan pada Oktober mencapai Rp23,2 triliun, meningkat menjadi Rp28,4 triliun di November dan menjadi Rp32,8 triliun hingga akhir tahun.

Defisit BPJS Kesehatan bisa membengkak lebih besar bila tidak ada upaya perbaikan yang dilakukan. Diperkirakan, di tahun mendatang defisit bisa mencapai Rp39,5 triliun, di 2021 sebesar Rp50,1 triliun, di 2022 sebesar Rp58,6 triliun, dan di 2023 sebesar Rp67,3 triliun.

"Kalau kondisi iuran tetap, masyarakat semakin sadar untuk menikmati pelayanan kesehatan dan normalitas dari tingkat utilitasi itu mencapai puncak, kalau kita tidak melakukan upaya yang fundamental, di akhir 2024 kita akan defisit Rp77 triliun," tutur Fachmi.

Fachmi mengatakan, pemerintah memiliki tiga pilihan untuk mengatasi permasalahan BPJS Kesehatan. Pilihan tersebut antara lain rasionalisasi iuran sesuai hitungan aktuaria, rasionalisasi manfaat yang diberikan, dan suntikan dana tambahan.

Pemerintah juga telah memilih untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Perpres No.75 tahun 2019.

"Dengan ada perpres 75/2019, paling tidak dengan ada rasionalisasi hitungan aktuaria itu, di segmen PBI kita bisa mengurangi defisit, atau paling tidak menurunkan persoalan telat bayar menjadi angka yang lebih rendah," kata Fachmi. (*)