Aturan Pembiayaan Properti MBR Harus Dievaluasi

Senin, 14 Oktober 2019

Ilustrasi perumahan. (Int)

JAKARTA - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia mendesak agar pemerintahan Presiden Joko Widodo periode berikutnya bias mengevaluasi sejumlah kebijakan terkait dengan pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah berharap agar pemerintahan baru yang akan mulai berjalan pada 20 Oktober mendatang tetap melanjutkan program sejuta rumah. Asosiasi juga mendukung program perumahan lainnya yang sifatnya berkelanjutan.

“Yang masih bisa diteruskan, yang pasti program sejuta rumah itu bisa, baik untuk menengah bawah atau MBR [masyarakat berpenghasilan rendah]. Namun, masih banyak program yang kurang baik karena belum siap dilaksanakan atau pemberlakuannya secara tiba-tiba dan menjadi kurang baik,” ungkapnya.

Pasalnya, menurut Junaidi, tahun ini ada sejumlah program yang terhambat dan berakibat sangat fatal, salah satunya adalah kebutuhan masyarakat akan hunian yang tidak bisa terserap lantaran anggaran pemerintah untuk subdisi perumahan yang kurang memadai.

“Berarti tim dari kementerian dan ke bawahannya yang menangani ini harus dievaluasi. Jadi, kalau ada kementerian khusus atau lembaga lain ya, kita dukung. Misalnya, khusus menangani perumahan rakyat,” kata Junaidi.

Dalam waktu dekat, asosiasi mengharapkan adanya relaksasi pada sejumlah aturan terutama untuk Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan pelaksanaan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

“Sisa dua bulan lagi, padahal kami sangat mendukung agar bisa terlaksana, tapi aturannya konyol, seperti dibuat tanpa kesiapan. Belum semua pemerintah daerah belum bisa buat, tapi orang didorong untuk pakai. Ini akhirnya menghambat serapan perumahan oleh masyarakat,” katanya.

Selanjutnya, ketentuan tabungan selama 6 bulan agar bisa direlaksasi menjadi 1 bulan saja dengan saldo minimal rata-rata Rp2 juta. Kalau tidak segera dievaluasi, kata Junaidi, BP2BT, tidak akan pernah bisa terlaksana. (*)