Jakarta - Pemerintah masih mempelajari keputusan Uni Eropa untuk menunda larangan impor minyak sawit hingga tahun 2030. Pemerintah menyatakan akan berhati-hati mengenai keputusan ini.
"Kita masih mempelajari, kita sudah paham bahwa phase out palm oil dari dari 2021 sudah bergeser ke 2030, tapi yang harus kita perhatikan apakah phase out-nya itu hanya palm oil, harus hati-hati jadi kita lihat," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan seperti dilansir dari detik.com Jumat (29/6/2018).
Berdasarkan arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Oke mengatakan, pemerintah ingin memastikan keputusan ini juga berlaku untuk produk lain.
"Jadi yang pertama itu yang diarahkan Pak Menteri jangan sampai itu nanti hanya palm oil, tapi sifatnya harus tidak diskriminatif, artinya semua vegetable oil. Karena kan yang awalnya yang 2030 adalah yang lainnya first generation, tapi palm oil didulukan 2021. Sekarang ini palm oil mundur jadi 2030 artinya harusnya sama dengan yang lain," jelasnya.
Oke mengatakan, kemungkinan ada perubahan kriteria terkait impor oleh Uni Eropa. Sebab itu, pemerintah akan memastikan jika tidak ada kriteria yang merugikan.
"Kedua, kriterianya kemungkinan akan bergeser, kita harus perhatikan, ILUC misalnya, indirect land use change, gitu kan. Kriterianya itu seperti apa, jangan sampai nanti kemasannya diskriminasi tidak ada, tapi direct kriteria itu ternyata mendiskriminasikan palm oil. Karena kan ada ILUC, high conservation carbon, ada biodiversity, ada 7 metodologi," jelasnya.
"Jadi kita harus perhatikan itu semua, dan arahan Pak Menteri untuk lebih terlibat dalam studi yang akan mereka lakukan. Sehingga kita harus memastikan bahwa sawit tidak terdiskriminasi," ungkapnya. *dtk/Se